Liburan musim panas lalu, Agustus 2012, saya ngetrip ke Skotlandia. Beberapa destinasi yang saya incar diantaranya adalah dataran tinggi Skotlandia, atau biasa disebut Highlands. Perlu diketahui, Highlands menyimpan 30 ribu danau, lengkap dengan pesona alamnya yang menakjubkan.
Danau-danau itu menciptakan keindahan tiada tara. Duduk ditepiannya terasa sejuk, damai dan tentram. Betapa air yang tertampung di dalam bejana alam tersebut mampu menciutkan diri. Betapa diri ini sebutir debu, betapa IA Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Pemberi dan Maha segalanya. Jika Tuhan tak memberi air, pastinya tak ada kehidupan di jagat ini.
Inilah Loch Lomond, destinasi pertama setelah saya meninggalkan kota Glasgow. Jika tak terbatas waktu, ingin rasanya berlama-lama menghirup aroma air danau. Mencuci mata akan bening airnya, akan indah riaknya, akan tenang nuansanya.
***
Trip jelajah Scotland yang meninggalkan kenangan manis itu saya tumpahkan dalam beberapa tulisan perjalanan, kemudian dimuat di beberapa media masa. Termasuk (rencananya) Loch Ness.
Beberapa hari sebelum Loch Ness naik cetak, pengasuh rubrik perjalanan sebuah media masa itu memberitahukan sebuah tanggal. Saya pun senang, seperti biasanya. Dalam artikel itu saya umbar betapa eloknya danau tersebut. Betapa indah riaknya. Betapa bening airnya dan bla.. bla… bla..
Intinya, betapa saya menyanjung pemberianNYA, air. Membuat saya semakin bersyukur. Diantaranya, bersyukur atas kuasaNYA, bersyukur bisa melihat air (danau) yang memberikan ketenangan bathin. Juga bersyukur diberi kesempatan tinggal di negeri ini, Inggris.
***
9 Desember 2012 tiba. Saya bukalah epaper koran itu. Biasanya, saya melewati headline dan halaman lainnya, karena saya selalu memburu rubrik perjalanan terlebih dahulu, tulisan saya sendiri. Tapi tidak kala itu. Mata saya tertahan oleh head line di halaman muka. Judulnya yang menohok, sekelebat mengingatkan saya ke masa lalu. Hingga saya kurang bernafsu memburu tulisan perjalanan saya sendiri.
Apa bagusnya headline itu? Tak lain, ia beritakan, gambarkan, dan olok-olok tempat saya lahir dan dibesarkan. Berikut head linenya:
Head line itu patut saya hadiahi jempol. Antara konyol, lucu, fakta, sekaligus miris. Untuk diketahui, Pagarsih adalah sebuah wilayah di Kota Bandung yang terkenal akan fenomena banjirnya. Banjir musiman itu dipastikan hadir di setiap musim penghujan. Dari tahun ke tahun. Dari masa ke masa. Dari saya SD yang tinggal di salah satu gangnya. Hingga saya berusia kepala empat dan telah menetap di benua lain, Pagarsih masa tetap saja seperti itu, banjir.
Maka, olok-olok foto hasil olah digital karya anak muda Bandung yang kreatif itu amat tepat dilayangkan sebagai sindiran, sekaligus cara protes kepada pemegang wewenang untuk kawasan Pagarsih yang letaknya dekat pusat kota Bandung.
Sebagai saksi sejarah, saat musim penghujan datang, kami selalu dibuat was-was. Jika hujan di siang hari, setidaknya kami bisa mengantisipasi dalam menyambut banjir. Namun kadang pula banjir luput dari antisipasi, ketika malam dalam lelap dan terbangun akibat genangan air di ubin kamar tidur.
Banyak perabotan kami yang rusak sebelum masanya. Karena banjir sering kali menjamah kursi, meja, ranjang, kasur dan yang lainnya. Bahkan ubin rumah kami pun, pernah rusak, hancur, karena terangkat dan terdorong oleh rembesan banjir yang bengis dari bawah tanah. Entah mengapa itu bisa terjadi. Yang jelas, pasca banjir, bapak harus mengganti ubin-ubin yang lepas dan terbelah-belah itu.
Bahkan, ada sebuah moment, dimana kami duduk diantara kursi sofa yang mengapung-apung di ruang tamu yang bagaikan kolam renang. Biasanya, seusai banjir di sepanjang pinggiran gang dipenuhi jemuran. Bukan hanya jemuran pakaian, tapi juga kasur, bantal-guling, selimut, kursi dan barang-barang lainnya yang tak biasa dijemur, menjadi lazim untuk disaksikan pasca banjir. Ehm.. pemandangan yang indah!
Parahnya, sering pula saat lumpur dan kotoran belum lagi tuntas dibersihkan di dalam rumah serta baju-baju dan perabotan belum kering, banjir itu datang lagi mengusik kami.
Mengenai SD kami, jika hujan lebat datang dan tanda-tanda banjir akan menerjang, biasanya sekolahan dibubarkan sebelum waktunya untuk menghindari terjebak banjir saat pulang nanti.
Jika banjir datang pada malam hari, buku-buku piket, buku-buku ulangan dan barang lainnya yang berada di dalam lemari kelas dipastikan basah. Begitupun dengan ubin kelas, dipastikan kotor, becek dan berlumpur. Hingga murid-murid dan guru-guru harus bekerja bakti menjemur buku-buku dan membersihkan kelas. Ah, kenangan itu…
Empat dekade telah terlewati, lima presiden pun silih berganti dan Pagarsih? tetap saja begitu, banjir!
Banjir oh banjir…
Saat banjir terjadi, sering kali kita menyalahkan banjir, menyalahkan air, menyebutnya bencana. Apa iya salah air?
Tentu saja air tidak bersalah. Karena banjir adalah buntut. Buntut dari ulah kita sendiri. Manusia!
Manusia yang mana? Manusia yang masih memiliki pola pikir primitif. Manusia yang masih saja membuang sampah ke sungai, ke selokan, ke parit-parit. Manusia yang tidak peduli pada lingkungan. Manusia yang berpikir pendek. Manusia yang membiarkan selokan, parit dan sungainya dijejali sampah. Sampah mereka sendiri. Sebuah pemandangan yang ia saksikan setiap hari.
Lihat saja aliran sungai di jalan Pagarsih, banyak sampah yang berenang di sana. Jika hujan datang sampah-sampah itu menahan arus air yang seharusnya melaju tanpa hambatan. Ah, rasanya anak SD pun tahu akan hal ini, apalagi orang dewasa. Tapi masalahnya bukan tahu-ngak tahu. Tapi mau-ngak mau. Karena paham saja tidak cukup! Action!
Selain itu, ada manusia lainnya yang bernama manusia pemegang kewenangan. Konon katanya, drainase seputar Pagarsih tidak berfungsi karena mengalami pendangkalan. Kalau memang sudah tahu penyebabnya, kenapa tidak segera ditindaklanjuti. Hingga banjir tahunan ini terjadi dari masa ke masa. Dari saya SD sampai saya sudah usia kepala empat. Dari saya masih tinggal di salah satu gangnya, sampai kini tinggal di benua lain.
Pada kemana sih orang pintar di negeri ini? Pada kemana sih larinya uang rakyat, dari pajak, yang seharusnya kembali kepada rakyat, untuk kenyamanan rakyat? Apakah untuk membetulkan drainase harus menunggu hingga beberapa dekade?
***
Sungguh, dalam waktu yang bersamaan, saya membaca dua artikel tentang air dengan konten yang kontradiktif. Dalam rubrik Wisata, saya yang nyata-nyata kelahiran Pagarsih mengumbar indahnya air danau di Skotlandia. Sementara Headline berita hari itu mengenai tanah kelahiran saya yang masih saja dengan petaka banjirnya.
Uniknya, sambungan headline tersebut letaknya tepat dibawah tulisan Wisata saya, berikut fotonya:
Hmm.. dua tema air yang sangat berkesan bagi saya dalam kehidupan ini.
Worcester, 13012013
traktir ke loch ness..
hayulah bang Piay.. ditungguin di pengkolan ya.. hehe..