Inggris tu ya.. dalam seminggu ini bisa panas, bisa dingin, bisa matahari cerah ceria, bisa ujan seharian. Tapi teuteup disyukuri sih..
Kebetulan hari ini lumayan panas banget (ya iya lah, orang sambil bejemur di balik kaca ruang tengah. Dimana mataharinya full nyorot)
Kalau lagi panas di bulan Maret gini jadi ga sabar pengen segera panas beneran, alias panasnya summer. Yang berarti, waktunya untuk ngelayap bin travel. Biasanya, salah satu tempat incaran kami selama musim panas ialah Cornwall.
Kalau ke Cornwall, rasanya tak cukup sehari dua hari, mengingat banyak banget objek wisata yang harus dijajal. Salah satunya adalah berkemping ria dan mengunjungi St Michael’s Mount, seperti yang kutulis di tulisan perjalanan yang dimuat di Koran Republikabbrp bulan lalu (hehe.. males posting di blog, baru sempet sekarang mostingnya) 😉
Gimana serunya kemping di Cornwall n apa bagusnya St Michael’s Mount?
Silakan baca yang anteng, jangan lupa komen di bawahnya 😀
****
***
Rasanya sayang jika melewatkan musim panas tanpa kemping. Ya, karena hanya di musim panaslah kami bisa kemping seperti ini. Dan untuk kesekian kalinya kami kemping di Cornwall, sebuah Provinsi yang terletak di Barat Daya Inggris. Meski beberapa kali kemping di Cornwall namun suasananya selalu berbeda
Kemping yang kami lakukan ini banyak dilakukan oleh keluarga Inggris lainnya. Karena animo masyarakat sangat tinggi akan hal ini, Inggris memiliki banyak campsite/bumi perkemahan. Tidaklah heran jika Cornwall memiliki banyak campsite karena pesona alamnya sangat mendukung.
Salah satunya karena posisinya di semenanjung. Tentunya banyak sekali pantai di sana. Seperti diketahui, orang sini senang pantai. Tentu saja, berjemur adalah sebuah luxury bagi negara yang minim pancaran matahari.
Istilah kemping di sini tidaklah sama seperti kemping semasa kita pramuka dulu. Karena campsite di sini dilengkapi penyewaan lodge, boleh membawa mobil caravan, ada fasilitas listrik, internet, laundry, tempat cuci piring dan sebagainya.
Ada juga area yang hanya menyewakan tempat untuk memasang tenda saja. Namun untuk fasilitas umum berlaku sama. Seperti toilet, shower room, tempat cuci piring, tap water(air minum dari keran) dan sebagainya.
Sedari Ramadan, kami mengangankan kemping. Maka, selepas lebaran barulah direalisasikan. Meski campsite di Cornwall jumlahnya banyak sekali, namun kadang fulbook. Maka dari itu, kami memesannya sebelum hari H. Setelah browsing dan memilah milih lokasi, jatuhlah pilihan di Tower Park Caravan and camping.
Untuk satu pitch (lapak tenda) kami membayar £23 atau sekitar Rp.460.000,00. Itu harga termurah untuk satu keluarga yang terdiri dua dewasa, 2 anak, satu lapak tanpa listrik dan internet.
Hari dinanti tiba. Kami meluncur dari Worcester ke Cornwall. Menurut GPS, jarak tempuhnya 250 mil, waktu tempuhnya 4 jam lebih. Tapi, pada kenyataannya, memakan waktu sekitar 7 jam, karena awalnya terjebak macet di jalan tol. Akhirnya kami memilih country side alias jalan desa. Lebih asik sih, pemandangannya lebih asri dibanding jalan tol. Beberapa kali kami berhenti untuk beristirahat. Sekedar untuk meluruskan punggung, ngopi dan makan.
Tiba di campsite daerah St. Buryan Penzance pukul 7 lebih. Segera kami mendirikan tenda sebelum matahari tenggelam dan semuanya gelap. Sementara itu, mobil teman kami datang menghampiri. Ya, memang kami sudah janjian. Akhirnya dua mobil mengapit dua tenda, sedangkan di tengahnya untuk area barbekiuan, api/unggun merangkap tempat makan, tempat sholat dan tempat bercengkerama.
Tenda telah dipasang, arang sudah dinyalakan, sate sudah dijejerkan, sementara itu makanan dan minuman lainnya dikumpulkan di tengah. Ah, makan malam yang sempurna. Bertemankan lampu berkekuatan baterei. Setelah usai makan malam, karpet dibersihkan dan beralihfungsi menjadi alas sholat. Sholat magrib dan isya yang khusuk dalam hening. Hanya surah-surah agung saja yang terdengar. Suasanapun menjadi syahdu.
Usai sholat jamaah kami melanjutkan cengkerama, duduk mengelilingi bara api sambil menikmati minuman hangat. Menjadikan tubuh sedikit hangat dari terpaan angin dingin malam itu. Sesekali kami tertawa, mengusik penghuni tenda-tenda lainnya yang tak bersuara.
Di malam bertabur bintang itu, rasanya kami enggan menyudahi obrolan. Padahal waktu menunjukkan pukul sebelas. Karena membawa anak-anak, mau tak mau, kami segera memasuki tenda. Dua keluarga, dua tenda. Saya memakai tenda yang cukup besar. Dua ruang yang disekat oleh ruang tengah untuk menyimpan makanan dan barang lainnya.
Karena hanya tersekat kain tenda, obrolan pun berlanjut. Kami saling menimpali, bersahut-sahutan. Sesekali tertawa, sepertinya hanya kami kempinger yang paling heboh.
Meski tidur larut tapi bangun tetap awal, begitu azan terdengar nyaring dari ponsel kami. Setelah sholat subuh sekitar jam 4, kompor fortable mulai dinyalakan dalam ruang tengah tenda. Teh manis, coklat panas, kopi, cereal hangat dalam kemasan, mie instan dalam wadah terus bergantian diseduh. Memenuhi satu-persatu pesanan perut kami bersembilan orang. Empat orang tua, dua remaja dan 3 bocah cilik.
Disela sarapan, kami bergantian mandi pagi. Ah, segar sekali. Di kamar mandi umum yang terdiri dari lima shower room, tujuh toilet dan enam wastafel yang bersih itu masih sepi. Tentu saja, jam segitu orang Inggris masih bergumul dalam sleeping bagnya. Sengaja saya mandi paling awal agar tidak mengantri nantinya. Sepulang mandi saya saksikan matahari mengeliat dari peraduannya mencipta warna nan elok. Siluet jingga itu sungguh memesona. Allahhu Akbar. Sungguh besar kuasaNYA. Sungguh indah ciptaanNYA.
Kami sarapan super santai. Sebagian berbalut sleeping bag. Mengobrol, menyusun rencana, bercanda, saling melempar joke, tawapun menggelegar. Membuat penghuni tenda sebelah berdehem. Mungkin terganggu oleh kami yang tak lumrah sepagi itu sudah riuh, sementara penghuni tenda lainnya masih terlelap dalam hawa yang sangat dingin, sunyi pula.
Tadinya kami akan menambah sehari kemping, tapi cuaca tidak mendukung. Menurut perkiraan cuaca, siang itu hujan akan turun hingga esok hari. Terpaksa kami harus segera melipat tenda untuk seterusnya menuju destinasi lainnya.
St Michael’s Mount
Karena memiliki minat wisata yang beda, selepas dari campsite, dua mobil menuju dua destinasi berlainan. Namun janjian bertemu kembali di St Michael’s Mount, tak lebih dari jam 12 siang.
Karena Cornwall menyimpan pesona alam yang aduhai, sering kali wisatawan terbuai dan tertahan di satu objek wisata. Sehingga janjian di St Michael’s Mount molor berjam-jam, rencanapun berantakan.
Banyak wisatawan memburu St Michael’s Mount di pagi hari atau selambatnya pukul 12 siang. Kenapa? Karena St Michael’s Mount terletak di pulau kecil, terlepas dari pulau utama, England. Meski beda pulau, kita bisa menjangkaunya dengan berjalan kaki.
Berjalan kaki? Iya, berjalan kaki. Itulah uniknya tempat wisata ini. Tentunya dengan catatan, berjalan kaki ketika air laut surut, mulai pagi hingga lepas siang. Bisakah anda bayangkan dua pulau tersambung oleh jalanan bermaterialkan bebatuan yang telah mengkilat dilumat air serta diinjak kaki para wisatawan?
Waktu memasuki pukul tiga, ketika kami memasuki kawasan St Michael’s Mount. Jalanan macet, tempat parkir sulit. Memang tidak mudah mendapatkan tempat parkir di objek wisata sepopuler ini. Setelah berputar dua kali, barulah kami menemukannya. Walau sangat jauh dari lokasi yang dimaksud.
Hati setengah pesimis. Sepertinya pasang sudah datang. Kami tergesa, memilih jalan pintas, menuju St Michael’s Mount. Langkah terasa berat, karena kaki tenggelam dalam pepasir pantai Mount’s. Hujan pula. Berangin kencang lagi. Ah, sebuah perjuanga
Di pantai itu saya saksikan banyak wisatawan yang sedang asik menikmati wisata paralayang. Hmm, sepertinya seru juga untuk dicoba. Tapi, harus fokus pada tujuan semula. Langkah cepatpun dilanjutkan.
Saya tertegun, dari kejauhan nampak jalan bebatuan itu telah dilumat air.
“Bagaimana? mau terus menerabas?” tanya suami.
Tentu saja ini sebuah tantangan mengasyikan bagi saya dan anak-anak.
“Ayok, siapa takut?” jawab kami dalam rintik hujan serta angin kencang.
Belum setengah perjalanan, atau sekitar 150 meter, nyali kami ciut. Airnya sangat dingin. Kalau hanya semata kaki mungkin tak mengapa. Tapi semakin jauh semakin dalam. Air pasang itupun cepat sekali datangnya. Mungkin setibanya di St Michael’s Mount bisa sebetis, atau mungkin sepaha. Lalu, pulangnya?
Akhirnya kami harus merasa puas hanya dengan berfoto ria. Sementara itu air pasang menjilat-jilat kaki kami, karena terdorong ombak. Terlihat banyak rumput laut yang ikut terbawa. Dalam waktu bersamaan orang-orang lalu lalang, pulang ataupun pergi penuh nyali. Bahkan beberapa diantaranya bocah-bocah dipanggul di pundak bapaknya, hebat.
Seterusnya, kami kembali arah dengan kecewa. Hujan perlahan reda. Matahari perlahan keluar. Sebagai gantinya kami menaiki tebing bebatuan yang ada di pantai itu. Tak lama, teman kami datang bergabung. Kami pun tertahan di sana. Menikmati suasana pantainya. Sambil memandang jelas St Michael’s Mount di depan sana. Apalagi jika menggunakan binocular/teropong, seperti yang dibawa teman saya itu.
Di pintu masuknya yang telah digenangi air laut, hilir mudik boat/perahu kecil. Baik yang mengantar maupun yang menjemput wisatawan. Pulau mungil itu dilingkup benteng. Lalu terlihat rumah-rumah abad pertengahan yang berfungsi sebagai toko suvernir, cafe, dan fasilitas wisata lainnya. Sementara tengah pulaunya meninggi. Seperti tumpeng alami yang ditumbuhi pepohonan menghijau. Di puncaknya terdapat kastil tua nan indah serta kokoh berdiri tegak.
Sebetulnya, tersedia perahu kecil yang memuat 6-10 penumpang untuk bisa menuju St Michael’s Mounts. Tarif dewasa £4/pp, sedangkan anak-anak £2. Tapi waktu merambat senja, sedangkan pulau dan kastil tertutup bagi wisatawan pukul 5.30. Pastinya pulau seluas 230.000 meter persegi itu tidak akan tereksplor maksimal.
Air laut semakin pasang, langit kembali mendung, awal hitam mengelayut, sepertinya hujan akan turun lagi. Maka, segera kami tinggalkan St Michael’s Mounts di seberang sana. Wahai St Michael’s Mounts, tunggulah, suatu saat saya akan kembali 😉
Like this:
Like Loading...