Seperti yang saya janjikan kemarin, di sini
Inilah sambungan ceritanya:
Awalnya kami turun bersamaan. Tapi kemudian terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama bergerak cepat mengikuti langkah dua bocah ajaib. Akmal dan Fikri. Kakak beradik kelas 1 SMP dan 3 SD, anaknya Mang Epul.
Saya masuk kelompok dua, bersama 4 orang lainnya. Maklum, faktor usia. Selambat-lambatnya saya berjalan, masih ada peserta lainnya yang lebih lambat. Itu karena ia mengalami cedera. Mungkin di sini Tuhan mengajari saya tentang arti kesabaran dan kesetiakawanan. Merasa kesal dan sok berani, akhirnya saya memutuskan diri bergerak cepat menyusul kelompok pertama.
Sayang, meski saya mengejar tanpa henti, sekuat tenaga dan penuh keberanian, kelompok satu tak terkejar. Sedang kelompok dua ditinggalkan jauh di belakang. Lebih dari satu jam saya berjalan sendiran dengan medan yang ekstrim dan dalam hening.
Saya rasa, saya salah arah. Tersesat. Saya dilanda ketakutan. Di sepanjang jalan tak henti berdoa. Rasanya mencekam sekali. Apalagi kabut mulai turun. Kini saatnya saya untuk berteriak. Berharap ada manusia lain selain saya di sana. Panik mulai melanda. Rasanya ingin menangis kencang.
Setelah beberapa kali berteriak, akhinya ada sahutan. Bulu kuduk saya berdiri. Antara senang, lega, tapi juga was-was. Takut ia orang asing, atau mungkin mahluk asing, semacam mahluk astral sebangsa dedemit atau apalah itu.
Dengan hati berkecamuk dan diiringin doa sekencang mungkin di dalam hati, segera saya ikuti arah suara. Dari kejauhan, terlihat seseorang duduk membelakangi saya. Lelaki berjaket hitam, berpenutup kepala itu menantap jurang di depannya. Serta merta saya utarakan ketersesatan saya. Rupanya, ia pun sama. Tersesat. Tertinggal dari kelompok pertama.
Anehnya, orang itu tak juga melirik pada saya. Hingga terlintas dalam benak saya. Apakah ia mahluk lain yang menyerupai salah satu peserta hiking? Saya terus mengajaknya berbicara agar ia mau menatap saya. Dalam pikiran saya, jika ia melirik dan saya dapati wajahnya seseram yang saya bayangkan, tongkat yang berada di tangan ini siap dilayangkan. Atau, saya akan menghujani dengan doa-doa sebisa-bisanya.
Ketika doa-doa dilafalkan dalam hati, orang itu melirik kepada saya. Alhamdulillah, ternyata benar dia Ek Ing yang tersesat. Rasanya, tersesat berdua lebih melegakan dibanding tersesat sendiri. Sayangnya, dua orang yang tersesat ini makin tersesat. Kami makin menjauh dari basecamp.
Disela itu hati saya masih menyimpan rasa was-was. Bagaimana jika diakhir cerita Ek Ing ini tiba-tiba berubah jelma. Iyyhh…
Hari makin sore. Entah jam berapa. Tak ada jam tangan, karena ini jamannya Hp. Sialnya, HP kami mati. Kabut turun, angin bertiup dingin, lamat-lamat terdengar suara mengaji yang entah dari mana.
Kami memutuskan untuk terus turun. Kemana pun arahnya, jika terus turun dipastikan tiba juga di perkampungan. Dalam pada itu saya terus mengajak Ek Ing berbincang, memastikan kalau ia bukan mahluk jadi-jadinya. Semakin lama saya semakin yakin dan percaya ia Ek Ing yang sebenarnya.
Kami melewati jalanan sempit yang menghimpit badan. Sebentar! Ini benar. Benar-benar salah jalan! Turun tak menemukan jalan, naik sudah tak memungkinkan. Mengingat lutut Ek Ing yang melemah.
“Masih kuat jalan, Ek?” Sering kali saya tanyakan itu. Lenguh lelah dibalas anggukkan. Dua kali naik, dua kali pula turun lagi. Tapi titik terang tak dijumpai pula.
Dalam frustasi, terjadi kesepakatan. Jika kondisi memaksa, kami akan bermalam di sebuah tegalan yang cukup aman. Meskipun tanpa tenda. Hanya berbekal jas hujan. Dalam renung, kami melepas lelas, sesekali kami berteriak, namun tak ada sahutan di sana.
Tak putus asa, selang beberapa saat saya berteriak-teriak lagi. Alhamdulillah, Allah menakdirkan kami bertemu dengan kelompok dua yang juga sama-sama tersesat.
Ah.. akhirnya. Tersesat berenam jauh melegakan dibandingkan tersesat berdua. Apalagi tersesat sendiri. Walhasil kami tiba di basecamp magrib. Sungguh pengalaman tak terlupakan dalam dekapan Burangrang.
Bagaimana mencapainya?
Untuk bisa menuju puncak Gunung Burangrang ada beberapa titik start pendakian. Bisa dari lembang. Bisa juga dari Cimahi seperti yang kami lakukan. Jalan yang mudah di tempuh, patokan pertamanya adalah menuju kota Cimahi, Kabupaten Bandung.
Dengan menggunakan angkot Cimahi turunlah di perempatan kolonel Masturi. Selanjutnya menuju arah Kampung Nyalindung. Sayangnya, tak ada angkutan umum untuk menuju ke sana. Alternatifnya, Anda bisa memakai ojek atau sewa angkot. Kalau mau ekstrim tanpa mengeluarkan uang, atau memberi sekedarnya, Anda bisa naik mobil bak milik petani sayuran yang sering naik turun ke kawasan itu.
Turun dari Kampung Nyalindung, tanyakan saja daerah Tanah Mati, warga setempat siap memberikan informasi/rute bagaimana cara mencapai puncak Gunung Burangrang.
Masih bersambung…
****
Saya senang sekali tulisan sederhana ini dimuat di Koran PR, Rubrik Backpaker, Edisi 1 Maret 2015. Tapi ada yang kurang senengnya, ituloh masalah fotonya, hahaha…
Dari sekian foto yang saya kirimkan banyak foto yang lagi pose sebelum naik gunung. Wajah dan pakaian masih enak diliat. Ada formasi ladies lengkap, ada foto ketua KUJ, tapi yang tayang ko malah Kang Koces (kuncen G Burangrang :D) dan kastrolnya, serta peserta yang tepar bobok siang di bawah tugu Gunung Burangrang 😀
Barangkali, justru disitu kadang saya merasa sedih seni fotonya 😉
Hidup! 😀
hahaha… seru. lebih seru lg bareng kuj, kang rudi dan kaos ijonya hahaha… hidup kuj
wkwkwkkkk…
trus jalannya kayak zombie ya om? 😀
Tahu begitu, kemarin saya takut-takutin dengan pura-pura nga kenal. Atau diam nga jawab. Terus jalan sendiri……biar takut