Tersesat di Gunung Burangrang (1)

Bagi saya, bertemu dengan orang-orang baru dan lingkungan baru, memiliki keseruan tersendiri. Ketika mudik yang tak seberapa lama itu, saya beruntung bisa bergabung di Komunitas Ulin Jarambah yang kukenal sebelumnya di sosmed.

Seperti yang telah saya ceritakan di sini dan diabadikan di sini, inilah kisah lengkapnya…

Dalam Dekapan Burangrang

Saya tak ingat pasti, kapan terakhir kemping di tanah air, mungkin sekitar 25 tahun lalu. Memang di Inggris, tempat kini bermukim, setiap musim panas saya menyempatkan kemping bersama keluarga. Tapi, kondisi dan suasananya berbeda. Kemping di camp site. Dimana listrik, internet dan fasilitas lainnya tersedia.

Maka, ketika mudik kemarin, saat Komunitas Ulin Jarambah (KUJ) mengajak saya kemping dan mendaki  Gunung Burangrang, saya langsung ambil kesempatan itu.

Kini Bandung super macet. Berkendara umum dari Kiaracondong – Cimahi, memakan waktu 2,5 jam. Ah, perjalanan ini melempar saya ke masa belasan tahun lalu. Apalagi saat tiba di meeting point, perempatan Kolonel Masturi. Saya pernah tinggal di daerah ini.

Nyaris jam 8 malam, dalam hujan, di meeting point saya jumpai 15 peserta lainnya, beragam usia. Mulai dari bocah 3 SD, remaja unyu-unyu, sampai emak-emak usia kepala 4 seperti saya.

Usia bukan halangan yang penting petualangan. Terbukti, penyambutan pertama, kami disediakan mobil bak terbuka menuju lokasi. Ah, lagi-lagi kenangan menghampiri saya.  Bahkan jaman kemping Pramuka dan PMR dulu saya terbiasa naik truk tentara.

Menuju Kampung Nyalindung jantung saya dibuat deg-degan terus. Pasalnya, jalan terus menanjak, kondisi jalan kurang bagus, malam, gelap, hujan rintik pula. Saya takut mobil tergelincir lalu masuk jurang. Atau, mobil mundur karena tak ada daya mengangkut kami.

“Tenang saja, kata supirnya, mobil bak ini pernah mengangkut dua ekor sapi perah ke lokasi yang sama,” begitu kata Mang Epul. Masih menurut Mang Epul, jika ditambah dua penumpang lagi, ekuivalen dengan berat dua sapi tersebut.

Akhirnya, kami tiba selamat di Kampung Nyalindung. Dari sana kami masih harus jalan menanjak dalam gelap dan dingin, melalui pekuburan, menuju Tanah Mati, basecamp. Sesuai namanya, tempat itu didekap pemakaman umum. Konon, setiap warga Nyalindung yang meninggal dimakamkan di sana.

Dalam gelap, tenda dipasang, api unggun dinyalakan, nasi liwet ditanak. Tanpa intruksi, tangan-tangan anak alam bergerak cepat. Tenda berdiri, api unggun menyala, makan malam ala kadarnya pun disantap.

Gelegar dan gemerecak kembang api yang mungkin berasal dari Lembang, lamat-lamat terdengar dan terlihat dari kejauhan. Di sana mereka riuh merayakan pergantian tahun 2014-2015. Sedang kami menikmatinya dalam hening dan kesahajaan.

Pagi menjelang, melipat tenda, sarapan nasi liwet sekedarnya, mulailah kami naik gunung. Menurut Kang Rudy, ketua KUJ, diperkirakan kami sampai di puncak jam 12 siang. Atau, 3 jam perjalanan. Setidaknya itu menurut pengalaman dia.

Jujur, buat emak-emak seperti saya dan anak muda yang lebih suka jalan di mall, naik Gunung Burangrang itu diluar perkiraan. Medannya sulit. Tajakannya curam, licin pula. Karena tersiram hujan beberapa hari belakangan.

Jalannya sempit. Bahkan ada yang hanya setapak kaki. Kiri kanannya jurang. Banyak pohon tumbang menghalangi jalan. Akar-akar pohon yang mungkin usianya lebih dari seabad menjadi pijakan kami. Di tengah perjalan, satu peserta cidera. Terpaksa 2 lainnya menemani turun.

Walhasil, setelah 4 jam melewati medan hebat tibalah kami di puncak Burangrang. Di ketinggian 2050 mpdl semua lelah terbayar sudah. Nampak cakrawala Bandung dari ketinggian. Terlihat petak-petak sawah menghijau, gurat-gurat jalan. Langit, awan, pepohon, elang beterbangan, udara segar. Kami bertafakur atas KuasaNYA yang sempurna.

Sejauh mata memandang, tak henti ketertakjuban. Terlihat Gunung Tangkuban perahu berselimut awan. Terlihat juga Situ Lembang yang menenangkan. Bak mangkuk alam. Dimana dinding melengkung yang mengelilingi situ itu adalah dinding dalam dari kaldera Gunung Sunda, begitu menurut Bapak Bachtiar.

Dalam naungan sejuknya puncak Burangrang kami beristirahat hanya satu jam saja. Bukan tak ingin berlama-lama di sana. Menikmati suasananya, menghirup udara segarnya, mentafakuri KuasaNYA. Ini hanya masalah waktu. Kami takut, kabut menghalau sebelum tiba di basecamp nanti.

Tersesat

Perjuangan belum usai. Naiknya penuh perjuagan, turunnya apalagi. Diperlukan ekstra tenaga dan lutut yang kuat. Apalagi kontur tanahnya menukik, menyempit, berkelok serta diapit jurang. Belum lagi jenis tanah merah seperti ini jika terguyur air menjadi sangat licin sekali. Sungguh berbahaya dan diperlukan ekstra kehati-hatian.

Saya jatuh dan tergelincir lebih dari 15 kali. Celana dan kemeja bagian pantat sudah tak jelas rupa. Telapak tangan saya yang bertugas menyangga badan saat terjatuh telah memar kebiruan. Bahkan belakangan saya sadari kuku jempol kaki kanan saya nyaris terlepas. Hingga kini berbekas biru kehitaman. Saking beratnya menahan beban badan yang terus turun menukik lima jam lamanya. Tak apalah anggap saja ini sebuah tanda mata yang manis untuk dikenang.

Menghitung jatuh dan tergelincir merupakan hiburan dan keseruan tersendiri diantara kami. Jika saya kurang dari 20 kali, teman saya ada yang lebih dari 20 kali jatuh tergelincir.

Awalnya kami turun bersamaan. Tapi kemudian terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama bergerak cepat mengikuti langkah dua bocah ajaib. Akmal dan Fikri. Kakak beradik kelas 1 SMP dan 3 SD, anaknya Mang Epul.

Saya masuk kelompok dua, bersama 4 orang lainnya. Maklum, faktor usia. Selambat-lambatnya saya berjalan, masih ada peserta lainnya yang lebih lambat. Itu karena ia mengalami cedera. Mungkin di sini Tuhan mengajari saya tentang arti kesabaran dan kesetiakawanan. Merasa kesal dan sok berani, akhirnya saya memutuskan diri bergerak cepat menyusul kelompok pertama.

Sayang, meski saya mengejar tanpa henti, sekuat tenaga dan penuh keberanian, kelompok satu tak terkejar. Sedang kelompok dua ditinggalkan jauh di belakang. Lebih dari satu jam saya berjalan sendiran dengan medan yang ekstrim dan dalam hening.

Saya rasa, saya salah arah. Tersesat. Saya dilanda ketakutan. Di sepanjang jalan tak henti berdoa. Rasanya mencekam sekali. Apalagi kabut mulai turun. Kini saatnya saya untuk berteriak. Berharap ada manusia lain selain saya di sana. Panik mulai melanda. Rasanya ingin menangis kencang.

Setelah beberapa kali berteriak, akhinya ada sahutan. Bulu kuduk saya berdiri. Antara senang, lega, tapi juga was-was. Takut ia orang asing, atau mungkin mahluk asing, semacam mahluk astral sebangsa dedemit atau apalah itu.

Dengan hati berkecamuk dan diiringin doa sekencang mungkin di dalam hati, segera saya ikuti arah suara. Dari kejauhan, terlihat seseorang duduk membelakangi saya. Lelaki berjaket hitam, berpenutup kepala itu menantap jurang di depannya. Serta merta saya utarakan ketersesatan saya. Rupanya, ia pun sama. Tersesat. Tertinggal dari kelompok pertama.

Anehnya, orang itu tak juga melirik pada saya. Hingga terlintas dalam benak saya. Apakah ia mahluk lain yang menyerupai salah satu peserta hiking? Saya terus mengajaknya berbicara agar ia mau menatap saya. Dalam pikiran saya, jika ia melirik dan saya dapati wajahnya seseram yang saya bayangkan, tongkat yang berada di tangan ini siap dilayangkan. Atau, saya akan menghujani dengan doa-doa sebisa-bisanya?….

Bagaimana kelanjutan ceritanya? sy lanjutkan, silakan merapat.
Telah dimuat di Koran Pikiran Rakyat, Rubrik Backpaker, terbit hari ini 1 Maret 2015.

PR- burangrang

 

2 thoughts on “Tersesat di Gunung Burangrang (1)

komentar Anda