Tag Archives: majalah Bobo

Tips, Cernak Bobo Edisi 16

Setelah libur lebaran dapat kabar pemuatan cerpen anak di Majalah Bobo tuh saik banget. Cernak saya kali ini berjudul Face Painting. Seperti halnya cernak saya lainnya, hampir 90% idenya adalah dari kisah pribadi.

Mau tau apa itu Face Painting? klik postingan saya di sebelah ini. 😉

Ketika saya ingin membuat cerpen anak, kadang saya suka ngayal dulu. Kadang sambil liat foto-foto lama. Ehmm… bikin cernak tema apa ya? sambil mikir” gitu biasa muncul deh si ide. Untuk  kali ini, ide cernak saya tentang Face Painting itu tadi.

Sedikit bocoran dan bisikan gaib guru. Katanya Mas Bams, Majalah Bobo suka konflik yang tandem. Halah, apasih? Maksudnya, cernaknya jangan dikasih satu konflik, single, tuntas, beres, udah. Konflik yang single itu kurang seru.

Daripada bingung, saya kasih contoh cernak ini. Berikut sinopsisnya:

Adalah Nayla, ia anak yang pintar menggambar. Dalam sebuah kesempatan bazaar di sekolah ia dan Arida hendak membuka stand. Ide pertama, mereka akan berjualan burger. Mengapa burger? Seting cerita menjurus ke hal tersebut hingga matang. Tapi ternyata ada kendala. Akhirnya mentah lagi.

Plan B. Ide kedua dilontarkan. Yaitu bikin stand tato temporari dengan menggunakan henna.  Ide yang baru dan cukup cerdas kan? Apa itu tato temporari? apa itu henna? gimana cara pakainya? Hal tersebut membuat pembaca cilik tertarik untuk mengetahuinya. Tapi ternyata, plan B ini tidak terlaksana karena adanya kendala.

Plan C. Ide ketiga dilontarkan. Yaitu membuka stand Face Painting. Apa itu Face Painting? Kenapa akhirnya keputusan itu diambil?

Ehm… kayaknya mendingan langsung baca Bobonya aja kali ya? Biar jelas 😉

Intinya tips menulis cernak kali ini adalah: Bikin konflik yang tandem. Jangan yang single. Biar cernak kita jadi lebih seru dan tidak mudah ditebak endingnya.

cerpen anak Bobo

Face Painting, Rosi Meilani, dimuat di Bobo edisi 16, 23 Juli 2015.

 

Tips Nulis Cernak, Bobo, Dramatisasi

Cernak Bobo

Cernak Bobo Edisi 28 Mei 2015

Alhamdulillah pagi ini, lewat FB saya mendapat kiriman foto yang bikin hati senang. Ya, beginilah. Setiap kali karya saya mejeng di Majalah Bobo, Majalah anak yang keren ini, saya baru bisa membacanya jika ada teman yang kirim penampakkan gambarnya.

Ya nasip.. ya nasip… mengapa begini.. baru pertama bercinta sudah menderita. Cukup sekali…  STOP! Lebay ah! Drama banget sih! Lagian itu lagu mana ada yang tau! Secara, pembaca Bobo kan bocah yang masih unyu-unyu. Iya lebay, didramatisasi ah! 😛

Eh, ngomongin soal dramatisasi, cocok banget dengan tema postingan yang ingin saya sampaikan kali ini. Apa itu dramatisasi? menurut buku karangan Tatang Subrata 😀  KBBI daring:
dramatisasi/dra·ma·ti·sa·si/ n 1 penyesuaian cerita untuk pertunjukan sandiwara; pendramaan; 2 hal membuat suatu peristiwa menjadi mengesankan atau mengharukan.

Ide, pesan moral, seting, tokoh, alur dramatisasi

Awal mula ketika akan membuat cernak tentulah harus ada ide awal. Cernak apa nih yang akan kita angkat? Ide itu bertebaran di mana-mana, seperti yang telah saya ulas di sini, contohnya. Nah, untuk kali ini, saya akan mengangkat tema cernak tentang cucu dan nenek.

Jujur, ide awal cernak ini saya dapat ketika anak saya liburan ke tanah air tahun lalu. Dengan modal ide itu, jadilah cernak ini. Tapi, tentunya, ide saja tidak cukup, pesan moral itu penting. Seperti yang telah saya ulas di sini.

Ide sudah ada, pesan moral sudah didapat. Kini waktunya bikin alur cerita, ditambah seting tempat dan tokoh/penokohan.

Cernak berjudul “Dapur Nenek” ini sejujurnya berawal dari curhatan anak saya. Waktu itu dia bilang, “Ma, kondisi dapur nenek, bla.. bla.. bla..
Dari situlah saya mulai membuat cernak ini.

Agar cernak terasa hidup saya harus mendramatisasi kondisi yang ada dengan cara:

  • Saya mengubah tokoh. Anak saya kan udah ABG. So tokoh ini dibuat jadi anak SD. Namanya Amel.
  • Seting tempat, ini udah pas bener. Rumah ibu saya di pinggiran Kota Bandung. Dekat SD, buka warung pula. Yang diubah, UK-Bandung, jadi Bali-Bandung.
  • Alur, dibikin sedramatis mungkin. Tapi tidak lebay dan masuk akal yang penting pesan moral sampai.

Sebagai bocoran, saya kasih sinopsisnya, ya. Selanjutnya pada pegi beli BOBO gih! hehehe..

Adalah Amel, anak SD, liburan ke rumah Nenek. Dapur nenek tidak terawat, karena nenek sibuk di warung miliknya. Amel ada ide merapikan semua itu. Tapi perlu biaya. Nah, di sinilah peran Si Amel menyelesaikan semua permasalahan tersebut.

Kita sedang membuat cernak, jadi usahakan si tokoh anak inilah yang lebih banyak mengambil peran dengan cara dirinya sendiri. Bukan neneknya, ataupun orang dewasa yang ada disekitarnya. Karena pembaca cilik akan lebih senang jika si tokoh anak ini yang berperan. Pengalaman saya dulu, ketika membaca cernak BOBO, sambil membaca, kadang saya memposisikan/membayangkan tokoh itu adalah saya sendiri. Kalo kamu gitu gak, sih 😉

Balik ke bahasan Cernak, bagaimana Si Amel berusaha memecahkan masalah? Si Amel berjualan brownis dengan tujuan, keuntungan dari jualannya itu bisa dipakai untuk mempercantik dapur nenek. Bagaimana ia bersusah payah membuat brownis, menjualnya dan sebagainya dan sebagainya. Di sini lah adegan dramatitasi berperan menghidupkan cerita.

Karena akan sangat gak seru sekali jika penyelesaian masalah dilakukan dengan cara cepat tanpa dramatisasi. Misal, Amel liburan ke rumah nenek. Dapur nenek perlu perbaikan. Amel menelfon Mama. Mama memberikan bantuan. Dapur nenek terlihat bagus lagi. Ya.. mana seruuuu 😀

Bagaimana alur dari pemecahan masalah, klimaks, anti klimaks dan ditutup dengan ending yang baik? Nah, disinilah perlu bumbu-bumbu yang bikin seru cerita. Dramatisasi salah satunya. Lalu ditambah bumbu-bumbu cerita. Lalu ditambah sedikit sentuhan/bantuan para orang dewasa yang ada di sekitarnya. Jangan lupa bikin ending yang bagus, menarik atau bahkan bikin haru.

Sayang, saya belum bisa kasih unjuk naskah mentahnya. Soalnya, kan, Bobonya masih edar. Baru edar hari ini loh, 28 Mei 2015. So, kalo mau baca cerita lengkapnya buruan ke lapak koran terdekat 😀

Gimana, udah terbayang kan, cara mendramatisasi sebuah cernak dari kisah keseharian kita?

Tips Cernak, BOBO, Pesan Moral

Alhamdulillah. Begitu banyak nikmat yang saya dapat. Begitu banyak rejeki yang mengalir. Begitu banyak kemudahan yang saya peroleh.

Pagi-pagi masuk message dari seorang teman penulis. Mengabarkan cerpen saya dimuat di Majalah Bobo yang beredar hari ini, 21 Mei 2015. Sayang, sebelum beliau sempat memoto penampakkannya, majalahnya keburu habis terjual. Semoga Allah SWT melapangkan rejeki buatnya. Semoga kios majalahnya selalu diburu para pencinta baca. Agar karya-karya kami laku diapresiasi.

Beruntung lagi, begitu saya sapa temans FB yang baik hati. Ada beberapa teman yang langsung kasih liat penampakkannya. Dan berikut ini penampakkannya.

cerpen anak di majalah bobo
Majalah Bobo, edar 21 Mei 2015

Karena majalahnya baru edar, jadi saya belum bisa kasih liat naskah mentahnya. Semoga Anda pada langganan Bobo, ya? Atau, merapat aja ke tokbuk atau kios majalah terdekat. Agar pegiat majalah termasuk di dalamnya tukang majalah n penulis kebagian rejeki dari uang yang anda keluarkan itu 😉

Meski gak bisa kasih liat naskah mentahnya, saya kasih bocoran tips dan proses kreatifnya, ok?

Jadi, dalam membuat cernak (cerpen anak) yang terpenting adalah pesan moral. Jika pesan moral yang akan disampaikan sudah didapat, barulah menentukan penokohan, alur, dan seting tempat.

Pesan Moral

Bagi saya, yang sudah tua ini, semakin tua, semakin banyak pelajaran hidup yang saya dapat. Apapun itu bentuknya. Salah satu dari ribuan pelajaran hidup yang saya dapat adalah, bahwa, jika kita memberikan kemudahan kepada orang lain dengan ikhlas, niscaya Allah membalasnya berkali lipat.  Nah, modal inilah yang kemudian saya tuangkan dalam bentuk cerita anak.

Ide dasar

Tentunya hidup kita sangat berwarna. Ribuan cerita pernah kita alami. Dari ribuan cerita itu ambillah beberapa cerita menarik untuk dibagikan kepada pembaca cilik. Tidak udah diceritakan 100% pengalaman kita itu. Tapi ambil benang merahnya saja. Atau pesan moralnya saja. Seperti yang sudah saya katakan di atas.

Sampaikan pesan moral tanpa menggurui

Modal dari pesan moral yang sudah ada di tangan, tinggal dibentuk dalam sebuah cerpen anak. Kadang anak-anak tidak suka digurui. Maka dari itulah kita perlu media cernak. Mereka membaca dan senang. Tanpa disadari pesan moral yang ingin disampaikan pun sampai tujuan.

Seting tempat

Untuk memudahkan menyusun alur cerita, menggunakan seting tempat yang kita kenali betul akan terasa lebih mudah dan lebih terbayang medannya. Seting tempat cernak saya tersebut di kompleks perumahan saya dulu yang berbatasan dengan perkampungan warga. Nah, tokoh Si Badru ini memang dari kampung sebelah saya, dulu.

Tokoh

Sebagai sarana penyampai cerita, kita perlu tokoh. Tentunya tokoh anak-anak dong. Pengambaran fisik/karakter/nama si tokoh bisa kita comot dari orang -orang yang ada di sekitar kita. Atau, mungkin, bisa juga penokohan tersebut cerminan diri kita sendiri.

Alur cerita

Pesan moral sudah ada, benang merah sudah tergambar, tokoh sudah tercipta, kini saatnya membuat alur cerita. Alur cerita merupakan kepingan-kepingan puzzle dari satu kejadian ke kejadian lainnya yang saling bertautan.  Hingga di akhir cerita, kepingan puzzle cerita itu tidak ada yang sia-sia. Semuanya menyatu menjadi cerita yang utuh dan memiliki pesan moral.

Mengenai alur cerita, lagi-lagi kita bisa mengambilnya dari kepingan-kepingan kisah kita. Contohnya saja, di dalam cernak saya yang dimuat di BOBO ini setidaknya ada penggalan-penggalan kisah kehidupan saya.

Pertama, si Badru pengantar susu itu saya ambil dari toko tukang susu langganan saya, dulu. Tapi tokohnya saya ubah. Dulu pedagang susu yang biasa mengantarkan susu sapi segar dari Lembang itu adalah seorang ibu-ibu. Karena untuk cerita anak, maka saya mengubah sosok si tokoh utamanya.

Kedua, tokoh Salwa (namanya saya ambil dari nama keponakan saya) kurang lebih penggambaran dari sosok anak saya (tapi anak saya laki-laki). Waktu itu kami pernah memiliki usaha air minum isi ulang.

Nah, beberapa puzzle yang saling bertautan itu jadi makin memudahkan kita untuk menyelesaikan sebuah cerita anak. Karena di dalamnya kita menyomot beberapa tokoh/karakter yang pernah kita kenal. Kita juga menyomot kepingan-kepingan kisah kita sendiri. Sekarang, tinggal pandai-pandainya meramu dalam bentuk cerita anak.

Oiya, jangan lupa, 4 unsur terpenting dalam sebuah cernak itu ialah, pembuka, permasalahan, penyelesaikan konflik dan ending. Insya Allah kapan-kapan kita ngomongin masalah itu.

Jangan lupa beli BOBO terbaru n baca cernakku selengkapnya di sana, ya… 😉

So, bikin cernak itu gampang kan? 😉

 

Tips Menulis Cerita Anak, Dimuat di Bobo

 

Dari kemaren-kemaren kebanyakan posting tips menulis tulisan pejalanan. Sekali-kali posting genre tulisan yang berbeda ah…

Yang saya rasakan, kalau terlalu lama menulis di satu genre terus-menerus kadang bosan juga. Untuk menyiasatinya, saya suka selingkuh genre. Entah itu menulis resensi ataupun menulis cerpen. Atau nulis apa aja deh. Yang penting bisa ngilangin kejenuhan sama si tulper.

Nah, genre tulisan kedua yang paling saya sukai setelah tulper, adalah cernak a.k.a cerita anak.

Kenapa saya suka nulis cernak? Alasannya banyak. Diantaranya:

Pertama. Karena saya, kamu, kita semua pernah ngejamanin masa kanak-kanak.
Masa kanak-kanak saya sangat indah. Kalau kamu?
Kadang saya ingin kembali ke masa kanak-kanak. Tapi mana mungkin? (membaca saja sulit 😛 Anak 80’an pasti apal sama jargon layanan masyarakat itu) :v :v :v

Kedua, lewat cernak saya bisa berimajinasi tanpa batas. Namanya juga pikiran anak-anak 😉 Saya pernah bikin cernak berjudul Janji Salju, dimuat di Bobo. Kadang, cernak tak perlu pake nalar normal, termasuk hadirnya peri-perian. Tapi ending ceritanya bernilai sebuah moral. Itu yang penting.

Ketiga, dengan menulis cernak, kita bisa jadi lebih bijak. Bisa menyelami pemikiran dan perasaan anak-anak. Karena dengan nulis cernak, kita melebur menjadi anak-anak.

Keempat, menulis cernak tuh bisa sebagai sarana jalan-jalan ke masa lalu.

Bayangkan, umur saya udah kepala 4 (sstt… jangan bilang-bilang yang lain ya…) 😛
Diumur semuda itu 😀 saya suka kangen masa kecil. Maka, cara saya kembali ke masa kecil itu, dengan cara menulis cernak. Banyak ide cernak saya diambil dari masa kecil saya sendiri. Bersyukur Allah memberikan ingatan yang kuat.

Misalnya tentang cernak yang satu ini. Judulnya: Pohon Payung Untuk Sarah. Telah dimuat di Majalah Bobo edisi akhir September 2014.
pohon payung bobo
Waktu ini, saya ingat betul. Sebagai kakak saya biasa main sama adik-adik (ga bisa dibilang ngasuh juga sih, soalnya saya kakak yang nga ngemong 😀 Dulu tapiii… 😉

Nah, ujung dari bermain-main itu adik saya tertabrak becak.
Ehmm.. pokonya ceritanya panjang. Nanti saya kasih bocoran mentahnya.
(maksudnya naskah asli sebelum diedit sama Mba V, si editor yang baik hati. ting! 😉

Balik lagi ke soal tips menulis cerita anak.
Jadi, buat kamu yang mau nyoba-nyoba nulis cerita anak, buruan dieksekusi. Jangan kelamaan mikir. Kamu kan pernah jadi anak-anak. Masa sih ga ada cerita yang seru dimasa kecilmu? Cerita yang sendu-sendu juga boleh. Tapi jangan lebay. Karena editor kurang suka sama cernak yang menampilkan kesedihan melulu. Kasih aura ceria, semangat, manfaat dan ending pesan moral yang baik kepada pembaca cilik kita.

Dan terakhir, berikut ini saya sertakan naskah mentahnya, semoga bermanfaat.

Pohon Payung Untuk Sarah
Oleh: Rosi Meilani

            “Kakak, aku ingin payung-payungan seperti itu,” Sarah menunjuk pada Lea yang menyandarkan sebatang tanaman di bahunya.

Oh, Cyperus alternifolius, ujarku dalam hati. Aku tahu nama latinnya, karena minggu lalu mempelajarinya. Tanaman tersebut sejenis rumput-rumputan. Tapi ukurannya lebih besar dan tinggi. Batangnya saja bisa seukuran kelingking. Malah tingginya ada yang sampai satu meter. Ujung batangnya ditumbuhi belasan daun. Daun-daunnya kurus melengkung ke bawah, mirip sebuah payung.

“Nanti, ya, Sar? Kakak ganti baju dan menyimpan tas dulu,” jawabku yang kala itu dicegat Sarah sepulang sekolah.

“Ya … ka, sekarang aja, Ka. Plis….,” rayuan Sarah membuatku iba.

“Lea, dimana kamu mendapatkan payung-payungan itu?” tanyaku.

“Di rumah kosong, Jalan Pelangi, itu loh. Aku dikasih sama kak Luna,” Lea menyebutkan nama kakaknya

“Ayo, aku tahu tempatnya, kak,” Sarah menarik tanganku. Tak lama, “Tuh, lihat kak!” Sarah menunjuk rumah besar di seberang jalan.

“Tunggu di sini, ya! Jangan ikut menyeberang!” ujarku, Sarah mengangguk.

Jalanan padat oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Sebetulnya aku bisa menyeberang di penyeberangan jalan (zebra cross), tapi jauh. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah lengang, barulah menyeberang.

Kudorong pintu gerbang rumah kosong itu, tapi terkunci. Untunglah rumpun tanaman payung-payungan itu menjulur keluar pagar besinya. Kurogohkan tangan untuk memetiknya. Setelah berhasil, kutunjukkan pada Sarah yang berada di seberang jalan.  Sarah berjingkrak senang.

Karena jalanan sangat ramai,  aku harus menunggunya hingga lengang. Tapi Sarah tak sabar. Di luar dugaanku, kakinya melangkah. Sepertinya ia akan menyeberang jalan.

“Sarah, jangan!” berteriaku. Tapi telat. Dalam waktu yang bersamaan  sebuah becak melintas dengan cepatnya. Dan dalam waktu yang bersamaan pula aku langsung menutup mata.

BRAK! Terdengar suara benturan yang amat kencang. Aku langsung membalikkan badan dan berlari tanpa tujuan hingga masuk ke sebuah gang. Sambil berlari aku bingung. Apa yang telah kulakukan? Aku kaget dan merasa bersalah. Aku takut dimarahi Mama.

Perasaanku gundah. Terbayang Sarah terkapar di tengah jalan, berdarah-darah. Aku takut pulang. Aku takut Mama Papa memarahiku habis-habisan. Hingga akhirnya aku terduduk di sudut teras sebuah rumah kosong.

Aku terduduk lama di sana. Jantungku terus berdebar. Pikiranku bingung. Apakah aku harus pulang? ataukah tetap bersembunyi di sini. Mana aku lapar lagi. Karena sedari pagi belum bertemu nasi. Setelah beberapa lama, dari kejauhan terdengar suara yang kukenal memanggil namaku berulang-ulang.

“Tiara… Tiara…,” ujarnya.

Jantungku makin berdebar. Aku menciutkan badan.

“Kemana ya, anak itu?” lanjutnya, tepat dibalik tembok tempatku bersembunyi.

Aku tak bergeming. Tapi perutku yang kosong berontak. Ia ingin mengeluarkan anginnya. Meski kutahan, tapi ia memaksa juga. Akhirnya, duuttt… suara itu keluar kencang beserta wanginya.

“Nah, loh! Ketahuan!,” ujar tanteku memasang wajah yang lucu. “Ayo pulang!” ujarnya.

“Aku takut pulang, Tan. Takut dimarahi mama,” ujarku bertahan, tapi Tante Silvi menyakinkan bahwa Mama tidak akan marah padaku. Akhirnya, aku pun menuruti bujukkan Tante Sivi.

Selama perjalanan pulang aku terus-terusan membayangkan Mama dengan wajahnya yang marah. Tapi ketakutanku bertolak belakang. Mama menyambutku dengan pelukan.

“Tiara, Mama mengkhawatirkanmu. Kamu dari mana saja? Ayo makan nak! Kamu pasti lapar.”

“Mama ngak marah?” tanyaku heran.

“Kenapa harus marah?”

“Bukannya Sarah…,” aku celingukan ke setiap sudut rumah.

“Sarah ngak apa-apa kok,”  ujar Mama yang menarik kursi makan.

“Hah? Lalu, suara itu?”

“Suara apa?”

“Suara kencang itu? seperti suara tabrakan?”

“Oh itu. Gara-gara si abang becak kaget melihat Sarah bergerak maju. Spontan ia menginjak rem, lalu becaknya oleng dan menabrak pagar rumah orang lain.”

“Jadi?” aku ternganga.

“Jadi, Sarah baik-baik saja,” ujar Mama. “Lain kali, kamu ngak boleh ninggalin Sarah begitu saja, ya? Untung waktu itu Tante Silvi lewat di tempat kejadian. Lalu Sarah diantar pulang,” lanjut Mama.

Ah, akhirnya aku merasa lega. Perasaan bersalahku hilang sudah. “Iya, Ma,” jawabku.

Dalam waktu bersamaan Sarah datang.

“Kakak! Kakak abis dari mana?”

“Maapin kakak, ya, Sarah. Nih!” kuberikan sebatang Cyperus alternifolius yang sedari tadi kupegang.

“Asikkk… Makasih kakak.” Sarah memelukku erat lalu berlengak-lengok menyandarkan sebatang Cyperus alternifolius di bahunya seolah sedang kehujanan.

****

Sampai jumpa di postingan tips menulis cernak berikutnya.. 😉