Dari kemaren-kemaren kebanyakan posting tips menulis tulisan pejalanan. Sekali-kali posting genre tulisan yang berbeda ah…
Yang saya rasakan, kalau terlalu lama menulis di satu genre terus-menerus kadang bosan juga. Untuk menyiasatinya, saya suka selingkuh genre. Entah itu menulis resensi ataupun menulis cerpen. Atau nulis apa aja deh. Yang penting bisa ngilangin kejenuhan sama si tulper.
Nah, genre tulisan kedua yang paling saya sukai setelah tulper, adalah cernak a.k.a cerita anak.
Kenapa saya suka nulis cernak? Alasannya banyak. Diantaranya:
Pertama. Karena saya, kamu, kita semua pernah ngejamanin masa kanak-kanak.
Masa kanak-kanak saya sangat indah. Kalau kamu?
Kadang saya ingin kembali ke masa kanak-kanak. Tapi mana mungkin? (membaca saja sulit 😛 Anak 80’an pasti apal sama jargon layanan masyarakat itu) :v :v :v
Kedua, lewat cernak saya bisa berimajinasi tanpa batas. Namanya juga pikiran anak-anak 😉 Saya pernah bikin cernak berjudul Janji Salju, dimuat di Bobo. Kadang, cernak tak perlu pake nalar normal, termasuk hadirnya peri-perian. Tapi ending ceritanya bernilai sebuah moral. Itu yang penting.
Ketiga, dengan menulis cernak, kita bisa jadi lebih bijak. Bisa menyelami pemikiran dan perasaan anak-anak. Karena dengan nulis cernak, kita melebur menjadi anak-anak.
Keempat, menulis cernak tuh bisa sebagai sarana jalan-jalan ke masa lalu.
Bayangkan, umur saya udah kepala 4 (sstt… jangan bilang-bilang yang lain ya…) 😛
Diumur semuda itu 😀 saya suka kangen masa kecil. Maka, cara saya kembali ke masa kecil itu, dengan cara menulis cernak. Banyak ide cernak saya diambil dari masa kecil saya sendiri. Bersyukur Allah memberikan ingatan yang kuat.
Misalnya tentang cernak yang satu ini. Judulnya: Pohon Payung Untuk Sarah. Telah dimuat di Majalah Bobo edisi akhir September 2014.
Waktu ini, saya ingat betul. Sebagai kakak saya biasa main sama adik-adik (ga bisa dibilang ngasuh juga sih, soalnya saya kakak yang nga ngemong 😀 Dulu tapiii… 😉
Nah, ujung dari bermain-main itu adik saya tertabrak becak.
Ehmm.. pokonya ceritanya panjang. Nanti saya kasih bocoran mentahnya.
(maksudnya naskah asli sebelum diedit sama Mba V, si editor yang baik hati. ting! 😉
Balik lagi ke soal tips menulis cerita anak.
Jadi, buat kamu yang mau nyoba-nyoba nulis cerita anak, buruan dieksekusi. Jangan kelamaan mikir. Kamu kan pernah jadi anak-anak. Masa sih ga ada cerita yang seru dimasa kecilmu? Cerita yang sendu-sendu juga boleh. Tapi jangan lebay. Karena editor kurang suka sama cernak yang menampilkan kesedihan melulu. Kasih aura ceria, semangat, manfaat dan ending pesan moral yang baik kepada pembaca cilik kita.
Dan terakhir, berikut ini saya sertakan naskah mentahnya, semoga bermanfaat.
Pohon Payung Untuk Sarah
Oleh: Rosi Meilani
“Kakak, aku ingin payung-payungan seperti itu,” Sarah menunjuk pada Lea yang menyandarkan sebatang tanaman di bahunya.
Oh, Cyperus alternifolius, ujarku dalam hati. Aku tahu nama latinnya, karena minggu lalu mempelajarinya. Tanaman tersebut sejenis rumput-rumputan. Tapi ukurannya lebih besar dan tinggi. Batangnya saja bisa seukuran kelingking. Malah tingginya ada yang sampai satu meter. Ujung batangnya ditumbuhi belasan daun. Daun-daunnya kurus melengkung ke bawah, mirip sebuah payung.
“Nanti, ya, Sar? Kakak ganti baju dan menyimpan tas dulu,” jawabku yang kala itu dicegat Sarah sepulang sekolah.
“Ya … ka, sekarang aja, Ka. Plis….,” rayuan Sarah membuatku iba.
“Lea, dimana kamu mendapatkan payung-payungan itu?” tanyaku.
“Di rumah kosong, Jalan Pelangi, itu loh. Aku dikasih sama kak Luna,” Lea menyebutkan nama kakaknya
“Ayo, aku tahu tempatnya, kak,” Sarah menarik tanganku. Tak lama, “Tuh, lihat kak!” Sarah menunjuk rumah besar di seberang jalan.
“Tunggu di sini, ya! Jangan ikut menyeberang!” ujarku, Sarah mengangguk.
Jalanan padat oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Sebetulnya aku bisa menyeberang di penyeberangan jalan (zebra cross), tapi jauh. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah lengang, barulah menyeberang.
Kudorong pintu gerbang rumah kosong itu, tapi terkunci. Untunglah rumpun tanaman payung-payungan itu menjulur keluar pagar besinya. Kurogohkan tangan untuk memetiknya. Setelah berhasil, kutunjukkan pada Sarah yang berada di seberang jalan. Sarah berjingkrak senang.
Karena jalanan sangat ramai, aku harus menunggunya hingga lengang. Tapi Sarah tak sabar. Di luar dugaanku, kakinya melangkah. Sepertinya ia akan menyeberang jalan.
“Sarah, jangan!” berteriaku. Tapi telat. Dalam waktu yang bersamaan sebuah becak melintas dengan cepatnya. Dan dalam waktu yang bersamaan pula aku langsung menutup mata.
BRAK! Terdengar suara benturan yang amat kencang. Aku langsung membalikkan badan dan berlari tanpa tujuan hingga masuk ke sebuah gang. Sambil berlari aku bingung. Apa yang telah kulakukan? Aku kaget dan merasa bersalah. Aku takut dimarahi Mama.
Perasaanku gundah. Terbayang Sarah terkapar di tengah jalan, berdarah-darah. Aku takut pulang. Aku takut Mama Papa memarahiku habis-habisan. Hingga akhirnya aku terduduk di sudut teras sebuah rumah kosong.
Aku terduduk lama di sana. Jantungku terus berdebar. Pikiranku bingung. Apakah aku harus pulang? ataukah tetap bersembunyi di sini. Mana aku lapar lagi. Karena sedari pagi belum bertemu nasi. Setelah beberapa lama, dari kejauhan terdengar suara yang kukenal memanggil namaku berulang-ulang.
“Tiara… Tiara…,” ujarnya.
Jantungku makin berdebar. Aku menciutkan badan.
“Kemana ya, anak itu?” lanjutnya, tepat dibalik tembok tempatku bersembunyi.
Aku tak bergeming. Tapi perutku yang kosong berontak. Ia ingin mengeluarkan anginnya. Meski kutahan, tapi ia memaksa juga. Akhirnya, duuttt… suara itu keluar kencang beserta wanginya.
“Nah, loh! Ketahuan!,” ujar tanteku memasang wajah yang lucu. “Ayo pulang!” ujarnya.
“Aku takut pulang, Tan. Takut dimarahi mama,” ujarku bertahan, tapi Tante Silvi menyakinkan bahwa Mama tidak akan marah padaku. Akhirnya, aku pun menuruti bujukkan Tante Sivi.
Selama perjalanan pulang aku terus-terusan membayangkan Mama dengan wajahnya yang marah. Tapi ketakutanku bertolak belakang. Mama menyambutku dengan pelukan.
“Tiara, Mama mengkhawatirkanmu. Kamu dari mana saja? Ayo makan nak! Kamu pasti lapar.”
“Mama ngak marah?” tanyaku heran.
“Kenapa harus marah?”
“Bukannya Sarah…,” aku celingukan ke setiap sudut rumah.
“Sarah ngak apa-apa kok,” ujar Mama yang menarik kursi makan.
“Hah? Lalu, suara itu?”
“Suara apa?”
“Suara kencang itu? seperti suara tabrakan?”
“Oh itu. Gara-gara si abang becak kaget melihat Sarah bergerak maju. Spontan ia menginjak rem, lalu becaknya oleng dan menabrak pagar rumah orang lain.”
“Jadi?” aku ternganga.
“Jadi, Sarah baik-baik saja,” ujar Mama. “Lain kali, kamu ngak boleh ninggalin Sarah begitu saja, ya? Untung waktu itu Tante Silvi lewat di tempat kejadian. Lalu Sarah diantar pulang,” lanjut Mama.
Ah, akhirnya aku merasa lega. Perasaan bersalahku hilang sudah. “Iya, Ma,” jawabku.
Dalam waktu bersamaan Sarah datang.
“Kakak! Kakak abis dari mana?”
“Maapin kakak, ya, Sarah. Nih!” kuberikan sebatang Cyperus alternifolius yang sedari tadi kupegang.
“Asikkk… Makasih kakak.” Sarah memelukku erat lalu berlengak-lengok menyandarkan sebatang Cyperus alternifolius di bahunya seolah sedang kehujanan.
****
Sampai jumpa di postingan tips menulis cernak berikutnya.. 😉
Mbak cantiiik, boleh tanya ? Ketentuan syarat cerpen yg kita buat maksimal berapa lembar folio kah ? Maksimal berapa kata ? dan dikirim via email atau pos kilat khusus ? Minta alamat pengirimannya boleh ? Terimakasih, mbak cantiiiik ^_^
boleh dong, biasanya 2 hal. A4 spasi 2, atau sekitar 600 kata.
berkunjung kemari
silaken…
Salam kenal dari Michigan, Mbak Rosi. Saran saran penulisannya sungguh bermanfaat, apalagi yang tentang cerita anak.
Salam kenal, mba Tirsa. Syukur alhamdulillah jika blog ini ada manfaatnya. Sering” main dimari ya.. 😉
Pasti akan sering saya kunjungi Mbak Rosi…:)
😉
gara2 baca postingan2 kakak, jadi makin kepengen menulis. Makasih ya kan postingannya keren bgt. Btw, pohon payung yg de cernak itu maksudnya tanaman Papyrus payung ya kak? penasaran jadi nge google. Hehehehe….
Makasih. Sering” pantengin rosimeilani.com, ya, Yun. Soalnya kakak sering kasih tips menulis. Baik itu cernak, tulisan perjalanan dsb.
Iya betul, ayo buruan nulis 😉
Makasih mbak ilmunya.. Blm pernah coba bikin cernak. Jadi mau..:-)
Masama. Ayo, dicoba..dicoba… 😉
Hm..makasih ilmunya ya, Mak. Beberapa kali masukin ke Bobo, tapi ya blm ada yg dimuat 🙁
Nia tunggu waktu aja kali, mak.
Doa yang kenceng n gempur lagi dengan tulisan-tulisan lainnya 😉
Sik asik , dapat tips menulis cernak..meski kudu mengingat masa kecil dulu nih, atau mengingat kelakuan ponakan, hehhee
Nah itu juga cara jitu. Keponakan atau anak sendiri juga bisa jadi inspirasi cerita. Sayangnya saya udah ga ada anak kecil di rumah, Mba Eka.
Nyontek tipsnya ya, mbak Rosi 🙂
Silakan, kakaa….
Wah keren mba Rosi..jadi dpt pencerahan… salam kenal mbak…
salam kenal kembali, Mba Levin. Silakan yang anteng baca-baca postingan yang lainnya 😉
Belum nulis tapi punya keinginan nulis cernak, terima kasih sharingnya mak^^
Masama
Alhamdulillah banyak ilmu di sini… numpang belajar ya mak 🙂
Silakan. Sering” mampir aja 😉
Deuhhhh…. belum belajar nulis cernah lagi, euy… 🙁
Sama aku jg,Ir.
Ntar klo otak udah mentok n enek sm tulper, br selingkuh lg Ke cernak 🙂
Wah ada tips menulis cerita anak di Bobo nih…kebetulan aku suka nulis cerita anak dan dikirim ke Bobo ttp blm ada yg dimuat, hehe… Aku senang sekali berkunjung ke blog ini, rasanya aku menemukan “passion”-ku di sini.. Ngomong2 masalah umur, aku jg sdh kepala 4 lho ttp msh demen baca Bobo…hehe..
Makasih udah berkunjung, mb Rita.
Semoga tulisan sederhana ini membawa manfaat.
Btw, seumuran kita. Tosss… 😉
hheheh…tosss…