Bertahun lalu, sebuah SMS masuk ke HP teman saya. Mengabarkan hadiah 50 juta rupiah. Syaratnya, transfer hadiah dilakukan via ATM. Karena tidak memiliki rekening yang disyaratkan, ia meminta tolong saya. Meski riskan, iming-iming rupiah membuat saya mengalah.
Kami hubungi si pengirim SMS. Ia berbicara cepat sekali, menyuruh saya menekan tombol ini-itu, transfer pulsa dan entah apa lagi, saya tak ingat, saking kedernya.
Terakhir, ketika ia meminta nomor pin ATM, saya terhenyak. Jantung berdebar cepat. Wah, penipuan ini! Saya ditampar kesadaran. Ponsel langsung dimatikan lalu keluar dari ATM sambil mengomeli teman, “ini penipuan, tau!”
Selang seminggu, saya ke ATM. Heran, ATM menolak mengeluarkan uang. Lalu saya mengecek saldo. Lutut saya lemas, keringat dingin pun keluar saat melihat saldo yang semula tiga jutaan, menjadi tiga digit saja. Sialan! SMS berhadiah itu ….
Orang Bank bilang, pembobolan rekening lewat internet diluar kuasanya. Ia angkat tangan. Kesal! Geraammm…
Sejak itu, saya trauma dengan apa-apa yang namanya hadiah yang to good to be true.
***
Waktu berselang. Beberapa bulan kemudian, di sebuah siang telefone rumah berdering.
“Ini dengan Ibu Ade?”
“Betul.”
“Bu, saya akan mengirimkan barang, cuma kesulitan menemukan rumah ibu. Posisi saya ada di wartel Z, dekat mesjid M. Tolong ibu beri alamat lengkapnya, ya?” ujar di seberang sana.
Barang? Heran. Saya tidak merasa memesan barang apapun. Mungkin suami saya memberi surprise. Saya menyuruh si kurir untuk menelefon beberapa menit lagi. Segera saya menelefon suami di kantor. Ternyata, dia tidak memesan barang apapun.
Hmm, saya curiga. Modus ini pernah saya dengar. Alih-alih mendapat barang gratisan, malah rumah kita digasak mereka yang biasanya membawa mobil van.
Telephone berdering lagi, kurir itu mendesak meminta alamat rumah. Saya keukeuh tidak memberitahukannya.
“Pokoknya, saya tidak mau menerima barang yang bukan hak saya!”
“Bu, saya cuma disuruh bos untuk mengirimkan Mini Compo yang telah dibeli, telah dibayar. Ibu tinggal terima saja. Saya sudah berputar-putar dari tadi, pekerjaan saya masih banyak,” omelnya.
Saya emosi, “Kalau begitu, saya harus cek dulu, tokonya apa? alamatnya dimana? pemilik tokonya siapa?”
Sayangnya, ia tidak menjawab dengan jelas siapa nama pemilik toko bosnya itu. Dia cuman bilang Engko dan Enci. Ya sudah, tidak saya ladeni. Apalagi ia malah bersungut-sungut, keukeuh memaksa alamat saya. Telefon pun saya matikan.
***
Lepas isya, seorang anak kos bertanya.
“Teh, apakah ada titipan barang untuk saya?”
“Barang apa ya?”
“Mini Compo.”
“Hah?” perasaan bersalah mendera.
“Mbak ini siapa namanya?” tanya saya yang baru sebulan tinggal di rumah mertua yang memiliki 10 kamar kos.
“Ade,” jawabnya. Saya merasa makin bersalah.
Saya meminta maaf pada gadis itu. Lalu saya ceritakan kejadian tadi siang. Ia menatap kosong.
“Makanya De, lain kali kalau beli barang seperti itu, beri tahu orang rumah (ibu kos, termasuk saya),” saya mencari alasan.
Wajahnya kecut. Pikirnya, tak yakin si kurir mau datang kembali. Lalu ia berinisiatif untuk mengambilnya sendiri ke toko tsb. Dalam tatap nanar yang hambar ia bertanya,
“Jadi, teteh namanya Ade juga, ya?”
“Bukan.”
Ia melongo.
“Teteh namanya siapa?
“Nama saya Rosi.”
Ia ternganga.
“Suami saya namanya Ade. Jadi, di perumahan tempat kami tinggal dulu, saya dipanggil Bu Ade.”
“?!….” alis gadis itu berkerut. Heran dengan kekonyolan saya.
***
Pesan moral:
- Waspada boleh, parno jangan! 😀
- Ingat sama nama anda sendiri 😛
- Buat yang punya kos-kosan kenalin nama anak-anak kos anda 🙂
Tulisan konyol ini telah dimuat di Majalah Ummi Edisi 9, 2014 dengan judul “Karena Sebuah Nama” yang covernya ustad Reza 😉
Like this:
Like Loading...