Category Archives: cerita konyol

Rekor! Perjalanan Indonesia-Inggris 2,5 hari.


Duh, semenjak balik dari tanah air penyakit mualku kambuh berkepanjangan.
Mual?
Iya mual.
Mualles buaget.
Males kutak-ketik, males nulis, sekaligus males ngeblog.
Tapi, mual ini harus kusingkirkan!

Dan akhirnya, kutulis jualah sisa cerita mudik kemarin itu.

Banyak yang ingin kuceritakan keseruan dan keharuan sebulan berada di tanah air, minus di tanah suci kurleb 9 hari.

Tapi, dari sekian banyak cerita seru, haru dan syahdu itu ada cerita yang paling heboh dan drama banget.

Bayangin!
Baru kali Ini saya alami (semoga tak terulang lagi) perjalanan terperpanjang Indonesia-Inggris 2 hari setengah. BTnya..
Tapi, gimana lagi. Bukankah semua ini sudah ada yang mengaturnya, iya kan?

Awal kisah….

Hari terakhir di Tanah air yang sedianya berakhir manis malah dramatis.

Diawali isu penutupan jalan tol Cipularang karena jembatan Cisomang bergeser, maka saya pun memperkirakan Bandung – CGK 10 jam (sesuai info dari perusahaan jasa angkutan).

Ternyata, isu tersebut hanya berlaku bagi kendaraan besar alias bus. Memang, kedatangan saya dari CGK-BDG sebulan lalu pake Bus Prima Jasa. Nah, pulangnya ini BDG-CGK pake Prima Jasa Shuttle. Jadi si mobil isi 8 penumpang ini boleh masuk tol Cipularang. Waktu tempuhnya pun bisa dibilang lancar jaya. Bandung – Bandara Soeta aka CGK hanya 3 jam saja. Walhasil, waktu yang sedianya saya anggarkan 10 jam tersisa 7 jam.

Hmm… ngapain dulu ya?…

Tiktok.. tiktok.. tiktok… 7  jam saya lalui.

Tibalah saatnya check in. Sepertinya saya adalah penumpang yang paling awal check in.

Dan, di sinilah drama dimulai. Eng.. ing.. eng…

Di counter check in…
Dua koper gede udah ditimbang, sambil saya menyerahkan passport pada mas-mas yang baik hati dan ramah. Eh ternyata, doi bilang maksimal 32 kg lebih dikit cingcai lah…
Asik… isi koper kabinpun saya brudulin lalu masukin yang berat-berat ke kedua koper itu.

Saya       : “Wah, totalnya 32 kilo lebih ya mas?” tanya saya.
Petugas: “Iya, bu. Gak papa kok,” ujarnya.
Sejurus itu, saya sodorkan passport lalu kemudian membereskan kembali koper kabin yang berantakan.

Petugas : “Sudah Permanent Resident (penduduk tetap di Inggris), ya bu?”
Saya        : “Iya,” ujar saya sambil lalu karena masih beberes.
P : “Boleh lihat kartu Permanent Residentnya?”
S : PRnya (Permanent Resident ID) tidak berupa kartu mas. Tapi tertempel di passportnya.
Saya masih sibuk beberes sesekali ngeliat si mas petugas yang nampak kebingunggan membolak-balikkan passport ijo saya.

Akhirnya mas petugas nyerah. Sedangkan saya begitu tenang dan PD.
Sekali lagi si mas petugas itu bertanya. Sekali lagi pula saya menjelaskan kalo stiker PR saya ada di sana. Di passport ijo saya tersebut.

Tapi.. sebentar!
Kok, passport saya tipis ya?
Bentar.. bentar… sekarang giliran saya yang binggung pleus panik.

P : “PRnya sebelah mana, buk?”
S : Ya Allah, Ya Rabb, Astagfirullah..
Jantung berdebar, badan memanas, keringetan saya, lutut lemes, bibir pecah-pecah.. lol! yang terakhir mah gak termasuk.

Yang jelas saat itu saya pengen teriak, seteriak-teriaknya. Sempet ajrut-ajrutan dan mengekpesikan kekesalan saya di depan konter check in tersebut. Untung kosong. Dan si mas petugasnya paham betul kondisi saya.
Sekarang saya panik dan bingung, sementara si mas itu tenang dan menenangkan.

Kilas balik…

Jadi, salah satu syarat menjadi Permanent Resident Inggris itu adalah selambat-lambatnya sudah menetap di Inggris selama lima tahun berturut-turut. Nah, di tahun 2011 kami sekeluarga sudah mendapatkan itu. Sebetulnya saya masuk UK tahun 2007, tapi hitungannya mengikuti suami yang masuk UK duluan.

Adapun bentuk PR ID tersebut berupa stiker yang ditempel di passport. PR berlaku tanpa batas. Tapi kalau passport (Indonesia) ada batas waktunya yang tentunya harus terus diganti/diperpanjang.

Nah, selama masa itu, kami beberapa kali ganti/perpanjang passport. Dan selama itu pula jika kami keluar masuk UK-Indonesia, passport terbaru dan passport lama yang ada stiker PRnya selalu bersama bagaikan kembar siam 😀
Tapi karena satu dan lainnya hal (ceritanya panjang) dua kesatuan passport saya itu terlepas satu  sama lain, bagai si kembar yang terpisah 😀 😀

Jadi, PR ID ini ibarat kunci kita masuk kembali ke negara pemberi PR.
Dimana dalam hal ini adalah negara Inggris.
Jika misalnya memaksa tetap berangkat. Dari Indonesia bisa saja memberangkatkan kita. Tapi begitu sampai di Inggris kita gak boleh masuk Inggris.
Lah gimana dong.

Passport
Nah, gara-gara selembar ID ini lah cerita ini berawal 😀
Beginilah penampakkannya Permanent Resident atau Residence Permit.
Foto diambil saat transit di Bandar Abu Dhabi.

Anyway, Sekarang saya harus pegimana?!£$%£
Kembali panik.

Saya       : “Jadi mas, PR saya ada di passport lama saya.”
Petugas : “Lalu, passport lamanya dimana, buk.”
S : “Itu dia!” ehmmm…
P : “Coba ibu ingat-ingat lagi. Dimana ibu menyimpannya?”
Hmmm..
Hmmm..
Saya raba ransel, koper kabin, saku-saku jaket, saku celana (ya gak mungkin laya..)
Hmmm…

P : “Mungkin di koper ini?” Si mas menunjuk koper item, saya menggeleng. Mungkin di koper ini?” dia menunjuk koper merah, saya tetap menggeleng.
Sejurus itu berpikir keras lalu sedikit-sedikit terlintas terang.
S : “Oh… yakin ketinggalan ini mah.”

P : “Ketinggalannya dimana buk?”
S : “Bandung!”
Tepok jidatt!

Sementara itu saya minta waktu untuk berpikir dan menelpon kakak di Bandung memastikan passport saya ada di sana.

Dan, benar adanya.
Duh, rasanya pengen nangis berguling-guling di lantai.

BDG – CGK 3 jam sob. Jadi musti pegimane?

S : “Mas, saya bisa rebook gak? Biar nanti saya bayar biaya rebooknya.”
P : Turkish Airline, penerbangannya hanya sehari sekali dan hanya di jam ini (jam 9 malam). Rebook ganti hari besok mau? Bentar saya ke bagian tiketing dulu.
Dan dua stiker labeling untuk koper bagasi itupun disobek di depan mata.
Itu artinya si mas itupun memberi sinyal gagal terbang saya. Hiks!
Sakitnya tuh di sini!
*nunjuk dompet*

Beberapa menit, diantara bengong, kosong, kesel, BT, bingung gak jelas, si mas nyamperin.
P : “Gak bisa rebook buk. Soalnya ibu beli tiketnya tiket promo.”
S : “Ealah iyah!” saya mangap. “Kalau begitu, alternatif lainnya gimana?”
P : “Ibu beli tiket baru untuk penerbangan hari ini.”
S : “Berapa?”
P : “14 Jeti.”
Lah, tapi kan buat apa juga dong ah.
S : “Kalau untuk besok?”
P : “Kalau untuk keberangkatan besok, 17 jeti.”
S : Hmm.. berikan saya waktu untuk berpikir dan menepi dari kekalutan ini. Eaaa..
(wkwkw.. ini mah drama sinetron indonesia dengan berbisik dalam hati)

Dan akhirnya si mas itu melepaskan dua koperku nan besar. Lalu saya berjalan lunglai menuju pojokan ruang yang amat luas itu. Kemudian saya ndeprok dipojokan sambil buka leptop, hape dan kontak-kontakan suami di seberang sana (cukup drama kah?) 😀

Keriweuhan itu diselingi telpon-telponan dengan saudara/i di Bandung ngomongin teknis pengiriman passportnya. Ralat, WA’an. Beruntung inet bandara gratis dan kenceng.

Jangan tanya betapa serunya perbincangan dan diskusi kami, saya dan suami, saya dan keluarga di Bandung, suami dan keluarga di Bandung. Mulai dari A sampe Z, mulai dari sebab musabab, sibuk mencari tiket murah, membandingan satu maskapai dengan yang lainnya, booking online, minta data ini itu.

Belum lagi masalah bagaimana dan kemana malam ini saya habiskan hari. Beberapa info saya dapatkan, menginap di hotel bandara 750k, di Ibis terdekat 350k, di hotel berjarak 25 menit bermobil dari bandara 290k. Jatuh pilihan, pada penawaran adik ipar.

Dari A sampai Z itupun beres. Tiket didapat. Harganya lebih murah dari yang ditawarkan bagian tiketing. Passport mau dianterin ipar, dari Bandung jam 1 malam, pakai kereta, perkiraan nyampe subuh. Saya akan bermalam di Tangerang.

Asiknya bertaksi ria, 200k kenyang! 😀

Dari Bandara ke rumah emak (tempat saya menginap, mertuanya adik ipar) ada drama lagi. Diajak muter-muter sama tukang taksi. Waktu yang sedianya kata adik ipar sekitar 15 menit menuju rumah emak, jadinya sekitar setengah jam lebih. Entah supir taksinya ngak apal jalan, entah.

Pa supirnya udah tua, taksinya gak dilengkapi GPS, bahkan ia gak tau apa itu GPS. Saya gak pake taksi berbasis aplikasi karena gak punya nomor Indonesia, akibat ketinggalan di hotel waktu ganti nomor Saudi saat umroh lalu.

Oiya, tentang cerita umroh, saya kasih linknya di bawah. Betapa mimpi itu menjadi nyata. Setahun mengumpulkan rupiah, dengan kuasaNYA, Alhamdulillah, saya sekaligus mengumrohkan bapak, Karena Allah  memampukan orang yang terpanggil.

Di dalam perjalanan pa supir tanya-tanya, saya pun tanya-tanya, walhasil malah jadilah curhat-curhatan tentang hidup. Hidup dia berat. Apalagi sejak adanya saingan taksi berbasis aplikasi. Keluarganya kembali ke kampung dan sebagianya dan sebagainya.

Meski hati lagi dongkol tapi saya masih bersyukur. Kami sekeluarga masih bisa berkumpul bersama. Kadang kita merasa susah, padahal banyak orang yang lebih susah. Ngobrol udah ngalor-ngidul tapi ngak nyampe-nyampe juga nih.

“Kok kita ngak nyampe-nyampe ya, pa?” tanya saya.
Si taksi nyasar (mungkin) dan kami 4 kali bertanya pada  pedagang-pedagang pinggir jalan. Hadeuhh… jauh kali perjalanan kita nih!
Tapi, ya, dinikmati aja.

Ini kali kesekian saya ke rumah emak. Terakhir ke sini, waktu anak sulung saya masih kecil, sekarang dia udah mau lulus kuliah 😀
Bayangin, patokannya pesan WA yang terputus dengan info yang gak jelas. Karena ngandelin inet bandara tadi.
Patokan lainnya mesjid. Saya ingat betul dulu pernah sholat di mesjid itu. Hadeuh….
Anehnya meski daerah sana makin padat, malam nan gelap, mesjid kesilep toko-toko, alhamdulillah sampai juga.

Di argo tercetak nyaris 140k, ditambah tol, parkir bandara, saya paskan jadi 200k.
Dan pa supir itupun senang.
Semoga Allah berkahi pa supir yang banting tulang hingga larut malam.
Semoga berkah!

Jakarta panas.
Eh, Tanggerang bukan Jakarta kan ya?
Tapi keluarga kami kalo ke rumah emak  bilangnya Jakarta 😀

Nyampe sudah larut, untung tukang sate depan rumah masih ada. Makan sate kambing (berlemak pula), pake lontong, bumbu kacang, sambil ngobrol segala rupa sama emak, sampe nyaris tengah malam, mandi ah..

Gerahnya minta ampun. Jakarta nyamuknya gendut-gendut. Tidur di kamar pake kipas angin malah tambah enggap. Tidur di kursi ruang tamu diserang nyamuk. Sampe bentol disana sini.
Alhamdulillah udah lama gak digigit nyamuk. Nyaris 10 tahun di UK gak pernah dicium nyamuk.

Pagi hari si passport berPR datang. Alhamdulillah.
Kucium itu passport dan kupastikan ditempelin dengan passport satunya lagi. Kalian bersatu ya.. jangan berpisah lagi, nanti aku susah lagi 😀 😀

Dari pagi hingga siang udah gak sabar pengen pulang. Jam 12 lewat dipesenin taksi berbasis aplikasi. Murah banget. Ke bandara cuman 55k. Mobilnya bagus, ACnya kenceng, mas supirnya ganteng 😀 pake GPS pula, jadi gak musti tanya orang pinggir jalan gitu..

Pamitan sama emak, makasih mak. Kapan-kapan jumpa lagi.
Cuss.. ke bandara.
Kali ini cuman makan waktu sekitar 15 menit doang.

Rasa deg-degan yang kemarin, terasa lagi, pas di konter cek in. Semua koper gak dioprek-oprek lagi semalam. Dua koper masuk bagasi sudah. Cek passport n PR, dikasih tiket boarding. Plong!
Alhamdulillah.

Karena kemarin cari tiket murah, jadilah rute kepulangan sekarang ini muter-muter. Gak papa deh. Yang penting sampai ke rumah dengan selamat.

Adapun rutenya sbb:
CGK – Abu Dhabi
Abu Dhabi – Dublin
Dublin – Birmingham
(Dimana masing-masing trasit waktu tunggunya 2-3 jam. Ehmm..)
Birmingham – Worcester

Perjalanan panjang itu, memerlukan perlengkapan travel yang nyaman.
Sepatu. Biasanya kalo saya traveling jauh seperti ini harus pake sepatu yang empuk dan nyaman.
Celana panjang yang nyaman. Saya sukanya pada celana PDL (apasih nama istilahnya, pokonya bukan celana blue jeans yang ketat, karena bikin sesak) Secara, perjalanan lama gituloh.
Ransel. Kalau traveling saya paling suka pake ransel. Bawanya praktis, gak ribet, bisa muat banyak barang. Banyak bagian-bagian sesuai peruntukannya. Seperti ransel Eiger saya ini. Di bagian dalamnya ada tempat khusus untuk laptop, tempat dokumen, tempat nyimpan barang-barang barang besar dan barang-barang kecil dan masih banyak bagian-bagian lainnya yang di desain sedemikian rupa sesuai kebutuhan kita.
Jaket. Barang yang satu inipun gak boleh ketinggalan saat traveling. Secara, biasanya di bandara dan pesawat itu dingin loh. Pas udah nyampe Dublin apalagi, brrr.. Jaket juga bisa multi fungsi kalo lagi transit gini, mau slonjoran, si jaket bisa dijadiin selimut, bisa juga dijadiin alas kepala klo mau rebahan.

Eh, ransel, jacket, sepatu dan celana Eigerku warnanya senada ya? coklat dan item, warna traveler banget, warna alami 😀
Foto diambil saat transit di Bandara Abu Dhabi, dini hari, ngantuk bok, hoaammm…

Eiger, perlengkapan traveling

Dan, Alhamdulillah, tibalah saya di Worcester, Kamis, siang hari.

Jadi kalau ditotalkan perjalanan saya ini 2,5 hari. Door to door, keluar rumah di Bandung Selasa pagi, tgl 3 Januari.  Nyampe Kamis siang, 5 Januari. Inilah perjalan terpanjang Indonesia – UK yang saya alami. Rekor. Semoga tak terulang lagi.

Pesan moral:
So, buat kamu yang udah dapat PR, jangan sampe ketinggalan passport lamanya ya… 😉

Oiya, dan tentunya, semua yang kita alami ini adalah KuasaNYA. Yakin, pasti ada “sesuatu” yang ingin IA sampaikan kepada kita.

Behind The Scene NET_CJ

Selama nyemplung dalam per-NET_CJ-an banyak suka duka yang saya rasakan. Mulai dari nyari ide, menuju lapangan, ngerekam, ngedit, bikin narasi, ngaplod, duduk manis nunggu tayang, seneng akhirnya si video bisa nongol di TV, honornya…. dan sebagainya dan sebagainya.

Dari semua sesi itu memiliki ceritanya masing-masing. Salah satu contohnya ialah ketika oncam atau PTC (Piece To Camera) aka obrol-obrol depan kamera. Jujur, kelemahan saya adalah suka jlimet di bibir. Di otak mau ngomong apa, keluarnya di bibir malah apa. Di otak udah disusun rapih, keluar di mulut teuteup jlimet.

Nah ini salah satunya:
Silakan senyum sepuas hati melihat video ini. Saya juga nontonnya sambil mesem-mesem antara memalukan tapi juga mengenang sebuah proses 😉
Tahukah Anda, dari take 1.31 menit yang diambil cuman 10 detik doang.

Gangguan lain, selain terletak di otak dan di bibir saya, juga gangguan di sekitar. Seperti suara-suara dari pasukan yang ikut jalan-jalan 😀
Maklum, saya ambil video CJ kan biasanya sambil ngangon bocah atau sambil main sama keluarga.
Etapi, kadang mereka membantu juga sih. Kadang mereka jadi pengontrol ucapan kita 😉

Seperti di video ini.
Sink apa sih bahasa indonesianya?
WADAH CAI ! 😛 😛
Kacau, kadang pula tim sorak ini bikin kacau suasana 😀
*kieu tah ari urang sunda saba Inggris teh 😀

Cuplikan video ini diambil untuk melengkapi oncam saya di video tentang Mata Air Abadi di Malvern Hills berikut ini.

#DIBUANG SAYANG

 

Trauma Penipuan Lewat SMS, berakhir konyol

Bertahun lalu, sebuah SMS masuk ke HP teman saya. Mengabarkan hadiah 50 juta rupiah. Syaratnya, transfer hadiah dilakukan via ATM. Karena tidak memiliki rekening yang disyaratkan, ia meminta tolong saya. Meski riskan, iming-iming rupiah membuat saya mengalah.

Kami hubungi si pengirim SMS. Ia berbicara cepat sekali, menyuruh saya menekan tombol ini-itu, transfer pulsa dan entah apa lagi, saya tak ingat, saking kedernya.

Terakhir, ketika ia meminta nomor pin ATM, saya terhenyak. Jantung berdebar cepat. Wah, penipuan ini! Saya ditampar kesadaran. Ponsel langsung dimatikan lalu keluar dari ATM sambil mengomeli teman, “ini penipuan, tau!”

Selang seminggu, saya ke ATM. Heran, ATM menolak mengeluarkan uang. Lalu saya mengecek saldo. Lutut saya lemas, keringat dingin pun keluar saat melihat saldo yang semula tiga jutaan, menjadi tiga digit saja. Sialan! SMS berhadiah itu ….

Orang Bank bilang, pembobolan rekening lewat internet diluar kuasanya. Ia angkat tangan. Kesal! Geraammm…

Sejak itu, saya trauma dengan apa-apa yang namanya hadiah yang to good to be true.

***

Waktu berselang. Beberapa bulan kemudian, di sebuah siang telefone rumah berdering.

“Ini dengan Ibu Ade?”

“Betul.”

“Bu, saya akan mengirimkan barang, cuma kesulitan menemukan rumah ibu. Posisi saya ada di wartel Z, dekat mesjid M. Tolong ibu beri alamat lengkapnya, ya?” ujar di seberang sana.

Barang? Heran. Saya tidak merasa memesan barang apapun. Mungkin suami saya memberi surprise. Saya menyuruh si kurir untuk menelefon beberapa menit lagi. Segera saya menelefon suami di kantor. Ternyata, dia tidak memesan barang apapun.

Hmm, saya curiga. Modus ini pernah saya dengar. Alih-alih mendapat barang gratisan,  malah rumah kita digasak mereka yang biasanya membawa mobil van.

Telephone berdering lagi, kurir itu mendesak meminta alamat rumah. Saya keukeuh tidak memberitahukannya.

“Pokoknya, saya tidak mau menerima barang yang bukan hak saya!”

“Bu, saya cuma disuruh bos untuk mengirimkan Mini Compo yang telah dibeli, telah dibayar. Ibu tinggal terima saja. Saya sudah berputar-putar dari tadi, pekerjaan saya masih banyak,” omelnya.

Saya emosi, “Kalau begitu, saya harus cek dulu, tokonya apa? alamatnya dimana? pemilik tokonya siapa?”

Sayangnya, ia tidak menjawab dengan jelas siapa nama pemilik toko bosnya itu. Dia cuman bilang Engko dan Enci. Ya sudah, tidak saya ladeni. Apalagi ia malah bersungut-sungut, keukeuh memaksa alamat saya. Telefon pun saya matikan.

***

Lepas isya, seorang anak kos bertanya.

“Teh, apakah ada titipan barang untuk saya?”

“Barang apa ya?”

“Mini Compo.”

“Hah?” perasaan bersalah mendera.

“Mbak ini siapa namanya?” tanya saya yang baru sebulan tinggal di rumah mertua yang memiliki 10 kamar kos.

“Ade,” jawabnya. Saya merasa makin bersalah.

Saya meminta maaf pada gadis itu. Lalu saya ceritakan kejadian tadi siang. Ia menatap kosong.

“Makanya De, lain kali kalau beli barang seperti itu, beri tahu orang rumah (ibu kos, termasuk saya),” saya mencari alasan.

Wajahnya kecut. Pikirnya, tak yakin si kurir mau datang kembali.  Lalu ia berinisiatif untuk mengambilnya sendiri ke toko tsb. Dalam tatap nanar yang hambar ia bertanya,

“Jadi, teteh namanya Ade juga, ya?”

“Bukan.”

Ia melongo.

“Teteh namanya siapa?

“Nama saya Rosi.”

Ia ternganga.

“Suami saya namanya Ade. Jadi, di perumahan tempat kami tinggal dulu, saya dipanggil Bu Ade.”

“?!….” alis gadis itu berkerut. Heran dengan kekonyolan saya.

***

Pesan moral:

  • Waspada boleh, parno jangan! 😀
  • Ingat sama nama anda sendiri 😛
  • Buat yang punya kos-kosan kenalin nama anak-anak kos anda 🙂

Tulisan konyol ini telah dimuat di Majalah Ummi Edisi 9, 2014 dengan judul “Karena Sebuah Nama” yang covernya ustad Reza 😉

ummi senyum simpul