Bule Jualan Tempe di London

William Mitchel

Setelah beres urusan memperpanjang pasport di KBRI London, saya menuju ke kawasan Leather Lane. Bukan tanpa alasan saya dan suami menuju area ini. Tujuannnya ialah menuju Warung Tempeh.
Warung Tempeh?
Maksudnya, Warung Tempe?
Yups.
Kenapa Tempeh?
Ceritanya ada di sini.

Dari Stasiun Bond Street, kami memakai kereta bawah tanah aka underground menuju arah Timur. Dalam belasan menit, turunlah kami di stasiun Chancery lane. Dibantu Google Map kami menyusuri jalan yang padat oleh area perkantoran ini. Tak berjarak lama, saya temui banyak kaum pekerja kantoran menenteng box/sterofoam makan siang. Ehm, tipikal kota metropolitan. Kaum kantoran yang sibuk. Belakangan saya tau, beberapa yang mereka tenteng itu adalah makanan olahan tempe. Itu terlihat dari kemasan boxnya.

Sementara itu, semilir daging bakar mengusik penciuman saya. Entah jenis makanan apa itu. Entah sate, atau burger, atau daging pagang, atau apalah apalah. Yang  jelas, ini aroma daging yang kena api, arang panas atau apalah apalah. Yang pasti, semilir ini aroma nikmat ini menyimpulkan, bahwa di seputaran area tersebut terdapat kawasan kuliner.

Benar saja, tiba di ujung Leather Lane saya temukan banyak tenda kuliner dengan sajian kuliner yang sangat beragam. Seperti kita tahu, London adalah tempat berkumpulnya para pendatang dari berbagai negara. Baik migran Eropa, Afrika, Asia, Arab dan sebagainya. Pokoknya segala etnik tumplek di London. Hal ini sangat mempengaruhi sajian kuliner yang ada di London.

Dan, hei! di ujung Leather lane tersebut berdiri Warung Tempeh. Semakin penasaran saya. Saya pun mendekat, ingin berbincang dengan si empunya warung. Wah, tapi beliau masih sibuk melayani pelanggannya.

“Bentar ya,” ujar Mas Will dengan ramahnya.
“Baiklah,” balas saya yang waktu itu baru saja makan siang. Jadi ngak sempat mencicipi tempenya Mas Will 😛

Waktu menunjukkan nyaris jam 2 siang. Dua kuali besar berisi olahan tempe Mas Will nyaris habis. Dengan cekatan beliau melayani pembeli sambil sesekali teriak kayak uda-uda Padang yang jualan pinggir jalan. Kurang lebih begini:
“Sapa mau.. sapa mau.. kari tempenya dikit lagi nih.”
Wkwkwkwk… itu terjemahan bebas, pake banget.
Pokoknya, intinya, Mas Will ini pedagang yang atraktif gitulah.

Tak lama saya menunggu, tempe olahan Mas Will benar-benar habis, bis! Ludes. Huffttt… dia narik nafas panjang sebelum saya wawancarai.
Saya sih bilang, “Mas Will makan aja dulu!”
Abis dia keliatannya capek gitu.
“Gak, ngak papa. Kasian kamu udah lama nunggu jawabnya ramah.”

Mulailah saya tanya-tanya beliau. Kenapa tertarik untuk memproduksi sekaligus berjualan tempe dan tanya-tanya hal lainnya.

Jadi, waktu dia muda (doi yang bilang loh ya) :D, pada tahun 1995 alias 20 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya William menginjak tanah air kita. Di saat itulah ia mulai kenal tempe dan suka sekali dengan makanan penuh protein ini.

Setelah berkarir sebagai guru Bahasa Inggris selama tujuh tahun ia kembali ke Inggris. Setelah kembali ke Inggris, seiring berjalannya waktu, ia kangen tempe. Ia rasa, tempe yang ia konsumsi di Inggris tak seenak tempe yang pernah ia makan di Indonesia. Keinginannya untuk menikmati tempe yang sesuai cita rasa tempe asli Indonesia makin menjadi. Akhirnya, seiring berjalannya waktu pula, terlintaslah dalam pikiran Will, “Kenapa saya ngak memproduksi tempe sendiri aja? yang sesuai dengan cita rasa tempe asli Indonesia?”

Untuk mengeksekusi mimpinya, ia sengaja bertandang ke Indonesia dan berguru kepada para pakar tempe 😀 aka bapak/ibu produsen tempe yang ada di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Setelah kurang lebih enam bulan di Indonesia, pria yang fasih berbahasa Indonesia ini kembali ke Inggris dan mempraktikkan ilmunya tersebut.

Di setengah tahun pertama, ia jatuh bangun merintis usahanya. Ia memproduksi tempe, sekaligus berjualan olahan tempenya tersebut. Hal terberat dalam merintis karirnya adalah saat memperkenalkan makanan asing ini kepada Londoners. Apa sih tempe? Dari mana itu? rasanya seperti apa?

Namun, lama-kelamaan, tempe olahan William disukai Londoners, terutama mereka yang berada di kawasan perkantoran dekat Leather Lane tersebut.

Dan sekarang? Lewat jam 2 siang, tempe olahan Mas Will udah ludes. Padahal mulai jualannya jam 11. Jadi kalau mau jajan di warungnya Mas Will jangan lewat dari jam 2 ya..

Obrolan saya dengan William kala itu berlangsung lumayan lama. Kami berbincang segala hal. Mulai dari membicangkan pertempean, hingga pengalaman-pengalaman serunya selama berada di Indonesia. Sampai kami ngakak-ngakak karena beberapa hal. Salah satunya ketika saya mencoba mikrofon sebelum mulai mewawancara beliau. Spontan saya bersuara,
” halo.. halo.. tes.. tes ….”
Orang indonesia emang gitu ya? 😀

Diluar perkiraan saya, William ngamber ikutan,
” testing.. testing…,” mulutnya nyosor ke mik saya.
Hahaha.. kami ngakak.
Seterusnya, “Testing … testing… 1 2.. 1 2…” sambil kami ngakak-ngakak.

“Wah, kenangan banget tuh!” papar William yang terus aja testing.. testing.. 1 2.. 1 2.. sambil tangannya dikepal seolah lagi pegang mik. Sambil diketok-ketok pula itu kepalan tangannya menekspresikan seolah lagi pegang mik.

“Apalagi kalau di kampung ya? Satu orang testing.. testing.. yang lain ikut-ikutan naik panggung dan ikut-ikutan testing.. testing juga….,”  ngakak lagi deh.

 

Kalau tak ingat waktu, mungkin obrolan kami semakin panjang lebar. Tapi saya tahu, pastinya William sudah letih karena ia terbiasa bangun di awal hari (begitu katanya). Lagi pula William mulai mengkhawatirkan dengan patner kerjanya yang sedari tadi bebenah tutup warung.
“Liat tuh, dia udah cemberut,”  William menunjuk mitra kerjanya, mas bule yang ganteng 😀

Baiklah, kita sudahi obrolan kita.
“Duh, bertemu dan ngobrol sama kalian sesingkat ini merasa saya kembali ke Indonesia yang penuh kenangan,” ujarnya menutup obrolan.

Ok then, Will, pamit ya…
Dan kami pun berjabat erat.
Sampai jumpa kapan.. kapan..

*Bersambung… 😉

2 thoughts on “Bule Jualan Tempe di London

komentar Anda