Tag Archives: Lingkungan hidup

Selamatkan Air Kita

Sewaktu kecil, ketika guru saya mengatakan bahwa 70% bumi kita adalah lautan, itu berarti kita tidak usah resah akan kekurangan air. Bukankah jumlah air di bumi ini begitu melimpah? Tapi ternyata tidak begitu.

Karena menurut WWF, benar bumi kita diliputi 70% air. Tapi hanya 3%nya saja yang merupakan air tawar. Itupun hanya 1% saja yang siap pakai (link disini)

Saya masih ingat, sekitar 35 tahun lalu, rumah nenek saya yang tinggal di daerah kota, memanfaatkan sumur alami. Dengan menggunakan tali timba setengah meter saja air bening nan menyegarkan itu dengan mudahnya diciduk.

Tahun berganti, di rumah orang tua saya yang letaknya dekat rumah nenek, menggunakan pompa air manual (merk dragon). Air yang keluar dari pompa tersebut awalnya melimpah, namun beberapa tahun berselang, airnya sulit keluar. Akhirnya bapak memasang air PDAM. Tentunya hal ini sangat memudahkan bagi kami. Kapanpun kami memerlukan air, tinggal buka kerannya, air pun mengocor deras.

Beberapa tahun berganti, air PDAM mulai membuat kesal. Kami hanya bisa membuka keran air di jam-jam tertentu. Semakin lama, jatah waktunya semakin pendek saja. Memaksa kami harus mengisi semua alat tampung seperti bak, ember, panci dan sebagainya di malam hari, untuk keperluan esok hari.

Belasan tahun lalu, orang tua saya pindah rumah ke pinggiran kota. Karena tidak tesentuh PDAM, maka tak ada pilihan lain selain menggunakan air tanah. Sama seperti penduduk lainnya, kami menggunakan pompa dragon. Meski kualitas airnya buruk, tapi kami bisa apa.

Setelah dipompa, air keluar melalui corongnya yang dilapisi kain dari baju bekas, untuk menyaring kotoran. Lalu air tersebut masuk ke dalam bak pertama yang dilapisi ijuk. Lalu masuk ke bak kedua yang kemudian ditaburi tawas atau sitrum. Setelah memakan waktu tertentu, airpun menjadi bening. Menyisakan endapan kuning hasil proses kimia di dasar baknya. Jika air tergoncang, endapan yang tak enak dipandang mata itu buyar dan mengkontaminasi si air yang telah bening tadi. Ribetnya minta ampun.

Belum lagi, kami harus sering-sering menguras bak mandi untuk mengeluarkan endapan kuning tersebut. Repotnya… Sudah begitu, ketika air yang sudah bening itu dipakai mandi, rasanya sedikit kesat di badan. Sangat jauh dengan kualitas air sumur di rumah nenek saya, 35 tahun yang lalu, menyegarkan, menyelusup hingga ke pori-pori kulit. Tapi apa mau dikata, hanya itu air yang ada.

Waktu berjalan, pompa manual sudah tak mempan lagi menarik air tanah keluar permukaan. Akhirnya, dibutuhkan pompa listrik dengan kedalaman pipa yang lebih panjang lagi. Rupanya “air tanah” kita semakin kering saja. Meski menggunakan pompa listrik sekalipun.

Agar si air mau keluar, sedikit trick kami lakukan. Yaitu dengan memancing air dengan air. Segayung-dua gayung air dimasukan ke lubang pipa mesin pompa. Airpun keluar. Tapi, tetap saja dengan kualitas yang sama, kuning. Untuk sampai bisa dipakai, sampai sekarang, tawas ataupun sitrun adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Duh, untuk mandi dan mencuci saja harus berkeringat dahulu dan tentunya memerlukan waktu dan tenaga lebih, juga kesabaran.

Karena kualitas air tersebut yang hanya layak untuk mandi, mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya, maka untuk konsumsi, orang tua saya membeli air jerigen untuk memasak (sebutan bagi air artesis yang dijual keliling di komplek perumahan setempat). Dan air galon untuk minum (sebutan bagi AMDK)

Berbeda dengan air PDAM dan air jerigen yang harus direbus sebelum dikonsumsi, air galon ini tinggal glek! Karena air di dalam galon tersebut telah melalui serangkaian proses panjang berteknologi tinggi hingga menjadi air siap minum. Diantaranya proses filterisasi dan ozonisasi untuk mematikan kuman-kuman tanpa proses pemanasan. Sehingga mineral-mineral alami yang terkandung di dalamnya tetap terjaga.

Rangkaian panjang berteknologi tinggi tersebut tidaklah akan menjadi sebuah produk air minum jika memang tak ada sumbernya. Dari manakah sumbernya? Tentu saja dari mata air yang berasal dari pegunungan. Singkatnya, selama masih ada pegunungan lengkap dengan ekosistemnya yang baik, selama itu pulalah cadangan air minum kita terpenuhi.

***

Sejatinya, guyuran air hujan yang jatuh di gunung ditahan dan diserap oleh pepohonan. Selanjutnya, resapan air itu mengisi kantung-kantung air di dalam tanahnya. Kemudian air di dalam kantung-kantung air tersebut disalurkan pada mata air-mata air  yang berada di kaki-kaki gunung. Tentunya setelah itu bisa dikonsumsi oleh penduduk setempat ataupun diolah oleh perusahaan air minum. Idealnya begitu.

Sayangnya, pembalakan hutan meresahkan kita akan cadangan air bersih yang tertampung di perut gunung dan hutan. Mencengangkan, sebuah fakta menyebutkan, bahwa sekitar 88% kegiatan penebangan hutan dilakukan secara  illegal (link di sini). Itu artinya, para perampok kayu tersebut telah merubah harmonisasi alam secara brutal.

Akibat ulah para perusak ekosistem itu timbulah petaka. Petaka yang beruntun. Petaka yang menyengsarakan orang banyak. Air hujan yang semestinya diserap pepohonan untuk seterusnya mengisi kantung-kantung air yang dialirkan pada mata air-mata air di kaki gunung. Juga dijadikan “air tanah dalam” atau kita menyebutnya air artesis untuk mengisi track(jalur)nya yang telah terbentuk berabad lamanya. Hingga mengalir ke perkotaan. Layaknya sumur di rumah nenek saya dahulu, menjadi kering.

Karena tak ada pohon penahan resapan air hujan, maka, ketika hujan turun, limpasan airnya mengelontor ke lereng gunung. Parahnya, lereng gunung tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan warga, perumahan mewah dan lahan pertanian. Banjir pun terjadi. Lebih parah lagi yang disertai longsor.

Sama halnya dengan illegal logging yang merusak ekosistem alam. Masalah alih fungsi lereng gunung dan lereng bukit pun perlu perhatian khusus. Untuk diketahui, sama halnya dengan pepohonan di gunung dan hutan, pepohonan di lereng gunung dan lereng bukit pun mempunyai fungsi yang sama. Sebagai media penahan, penadah dan penyimpan air hujan yang seterusnya dijadikan air tanah juga air tanah dalam/artesis.

Jika sekarang lereng-lereng gunung dan bukit itu telah beralih fungsi menjadi perumahan, kemana air hujan harus diresapkan? Juga, ketika lereng-lereng gunung dan bukit itu dijadikan lahan pertanian seperti ditanami kentang dan bawang, ketika hujan datang, menghanyutkan tanah pucuk yang subur, terbawa arus air ke lembah lalu ke sungai. Pendangkalan sungai pun terjadi.

Jadi, dengan satu tindakan bodoh melahirkan banyak petaka. Gunung, bukit, hutan gundul, bumi makin panas, pepohonan rata dengan tanah, kantung air kering, mata air hilang, “air tanah dalam” semakin dalam, banjir dan longsor terjadi, tanah subur terkikis juga pendangkalan sungai.

Fakta lainnya, kerusakan alam tidak hanya terjadi di hutan dan pegunungan, tapi pada karst-karst yang banyak terdapat di negara ini. Salah satunya adalah karst Citatah di daerah kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Menurut T. Bachtiar, seorang dosen, ahli geologi, pemerhati lingkungan juga penulis buku Wisata Bumi Cekungan Bandung dan buku Bandung Purba, Karst Citatah yang terbentuk selama 30 juta tahun lalu itu awalnya memiliki banyak mata air. Tapi kini tinggal tersisa satu saja. Itupun debitnya makin mengecil.

Bukit kapur itu kelihatannya tandus, padahal di dalamnya menyimpan banyak cadangan air. Pada kantung-kantung air, pada air tanah dalam, bahkan pula terdapat sungai bawah tanah seperti halnya di Sukabumi selatan.  Sayang, karena ulah para pengeruk material alam yang brutal, membongkar gunung kapur yang merupakan warisan alam tertua di Pulau Jawa itu, menyebabkan Karst Citatah hampir punah.

Mereka menghacurkan karst untuk maraup material alamnya. Membongkar bukitnya, menghancurkan kantung-kantung airnya. Bila semua telah hancur, apa yang mau diresapkan? Ironis. Menyakitkan.

***

Sebetulnya jumlah pelaku kejahatan alam alias para pengeruk kekayaan alam di tanah kita ini jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding jumlah penduduknya. Masa kita kalah?

Lalu, bagaimana cara menyikapi kondisi yang sudah seperti ini? Toh kita tidak bisa membalikkan waktu.

Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Kita? Kita siapa?

Ya kita. Semua elemen. Pemerintah, perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi pecinta lingkungan, pemerhati lingkungan dan para aktifisnya serta pribadi masing-masing warna negara Indonesia yang perlu membuka mata dan awareness

Caranya? Tentu saja sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Pertama, pemerintah melalui kementrian kehutanan telah mengeluarkan banyak SK terkait tindakan preventif illegal logging. Diantaranya, menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati / Walikota dalam menerbitkan HPH, penghentian ekspor kayu bulat. Juga tindakan represif berupa sidak ke lokasi kejadian bersama aparat setempat.

Selain pemerintah, keberadaan organisasi lingkungan hidup berfungsi sebagai kontrol. Yang bisa menggerakkan pemerintah juga individu-individu.  Baik organisasi nasional maupun organisasi internasional. Sebut saja WALHI, WWF indonesia,   Greenpeace IndonesiaCIFOR dan masih banyak lagi organisasi lainnya. Mereka begitu consern terhadap lingkungan. Mereka pun memberikan informasi, membuka mata kita. Apa yang telah terjadi di bumi kita ini. Mereka terus bergerak mengupayakan pelestarian alam.

Begitupun para aktifis pecinta lingkungan. Mereka kerap mengerakkan masyarakat awam yang buta akan kerusakan alam yang kita derita ini dengan tindakan nyata. Misalanya seperti yang dilakukan oleh T Bachtiar bersama rekan-rekannya. Salah satunya, memberikan pemahaman sambil berwisata alam ke Karst Citatah untuk melihat lebih dekat akibat kerusakan yang dibuat oleh para penambang brutal. Upaya lainnya berupa pemeliharaan lingkungan dan event-event yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Setelah pemerintah, organisasi lingkungan, para aktifis pecinta alam, rupanya perusahaan besar seperti Aqua, memiliki consern yang sama terhadap kondisi ini. Itu terbukti dengan Program Konsevarsi Terpadu “Gunung Salak Lestari” dengan target 100,000 pohonnya. Semoga langkah positiv yang dilakukan oleh perusahaan AMDK terbesar di Indonesia ini bisa me-encourage perusahaan-perusahaan lainnya.

Terakhir, sebagai individu-individu warga negara Indonesia, banyak hal kecil yang sepertinya sepele, tapi sangat berdampak besar jika diakumulasikan terhadap jumlah penduduknya yang 250 jt itu.

Tindakan kecil apakah itu? PENGHEMATAN AIR!

Benar, kamu bisa memakai air sesuka hati as long as kamu mampu membayarnya. Tapi tahukah kamu, air artesis yang disedot “kaum mampu” dengan mesin berkekuatan besar itu telah mengambil jatah air “kaum tak mampu” yang hanya mengandalkan sumur alami ataupun pompa dragon. Jika kamu menggunakan air PDAM, sama saja. Dengan kamu menghambur-hamburkan air, itu artinya memberikan peluang kepada PDAM untuk buka-tutup keran di beberapa daerah.

Banyak cara penghematan yang bisa kita lakukan, diantaranya adalah:

  • Saat mandi. Taukah kamu, berapa ideal waktu yang diperlukan saat mandi menggunakan shower? 5 menit saja. Jika kamu mandi menggunakan shower selama 20 menit, artinya kamu telah mengambil kesempatan 3 orang yang tak mampu (menggunakan jet pump) untuk mandi. Jika kamu tidak bisa mengontrol diri saat mandi menggunakan shower, mandilah dengan menggunakan ember dan gayung. Pepatah mengatakan, sambil menyelam minum air. Selagi mandi menggunakan shower, cucilah lap/kain pel sambil diinjak-injak kaki. Badan bersih lap pel pun ikut bersih. Tanpa harus sengaja mencuci kain pel yang pastinya menghabiskan air.
  • Saat mencuci piring. Tahukah kamu, bahwa mencuci piring dalam guyuran air keran membuang banyak air? Cara hematnya adalah, sediakan baskom yang dibubuhi sabun cair. Buang sisa-sisa makanan yang menempel pada piring kotor lalu rendam dalam baskom sabun tadi. Setelah piring kotor terkumpul gosok menggunakan spon, lalu bilas di baskom lainnya yang telah diisi air bersih. Merendam piring kotor pada baskom yang berisi air sabun tersebut saya terapkan setelah melihat orang sini (Inggris) melakukan hal serupa. Padahal di sini air sangat melimpah. Itulah awareness yang telah mengubah pola pikir kaum modern.
  • Saat berwudhu. Jika kamu berwudlu, tampunglah air wudhu tersebut ke dalam ember. Air curahan wudhu tersebut bisa digunakan untuk mengepel ataupun menyiram bunga. Ingat, menyiram bunganya gunakan gayung. Agar tepat sasaran. Tidak memancar kemana-mana.
  • Saat mencuci. Baik mencuci secara manual maupun menggunakan mesin cuci, tampunglah bilasan airnya. Karena bisa dipakai untuk menyikat kamar mandi, menyikat keset/lap kotor ataupun mencuci motor.

Bayangkan, jika air bekas wudhu ditampung sehari 5 X, X anggota keluarga, X sebulan, X setahun, X se-RT, X se-RW, X sekecamatan, X sekelurahan, X seprovinsi, se-Indonesia? Itu baru dari pembuangan sisa wudlu. Belum lagi dari penghematan air mandi, penghematan cuci piring, pembuangan air cucian baju.

Ayo, sanggup ngak melakukan hal mudah tersebut?

Ingat, sesuatu yang besar berawal dari yang kecil.

“Jangan bermimpi merubah sesuatu yang besar jika kita tidak memulainya dari hal-hal yang kecil.”

Mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang terkecil, mulai dari hal yang dijalani sehari-hari dan mulai saat ini!

malvern2

Bisa ya? PASTI BISA!

Worcester, 31 Januari 2013.

Antara Scotland-Pagarsih, Air dan Banjir

Liburan musim panas lalu, Agustus 2012, saya ngetrip ke Skotlandia. Beberapa destinasi yang saya incar diantaranya adalah dataran tinggi Skotlandia, atau biasa disebut Highlands. Perlu diketahui, Highlands menyimpan 30 ribu danau, lengkap dengan pesona alamnya yang menakjubkan.

Danau-danau itu menciptakan keindahan tiada tara. Duduk ditepiannya terasa sejuk, damai dan tentram. Betapa air yang tertampung di dalam bejana alam tersebut mampu menciutkan diri. Betapa diri ini sebutir debu, betapa IA Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Pemberi dan Maha segalanya. Jika Tuhan tak memberi air, pastinya tak ada kehidupan di jagat ini.

Danau Lomond Skotlandia
Loch Lomond, Scotland

Inilah Loch Lomond, destinasi pertama setelah saya meninggalkan kota Glasgow. Jika tak terbatas waktu, ingin rasanya berlama-lama menghirup aroma air danau. Mencuci mata akan bening airnya, akan indah riaknya, akan tenang nuansanya.

***

Trip jelajah Scotland yang meninggalkan kenangan manis itu saya tumpahkan dalam beberapa tulisan perjalanan, kemudian dimuat di beberapa media masa. Termasuk (rencananya) Loch Ness.

Beberapa hari sebelum Loch Ness naik cetak, pengasuh rubrik perjalanan sebuah media masa itu memberitahukan sebuah tanggal. Saya pun senang, seperti biasanya. Dalam artikel itu saya umbar betapa eloknya danau tersebut. Betapa indah riaknya. Betapa bening airnya dan bla.. bla… bla..

Intinya, betapa saya menyanjung pemberianNYA, air. Membuat saya semakin bersyukur. Diantaranya, bersyukur atas kuasaNYA, bersyukur bisa melihat air (danau) yang memberikan ketenangan bathin. Juga bersyukur diberi kesempatan tinggal di negeri ini, Inggris.

***

9 Desember 2012 tiba. Saya bukalah epaper koran itu. Biasanya, saya melewati headline dan halaman lainnya, karena saya selalu memburu rubrik perjalanan terlebih dahulu, tulisan saya sendiri. Tapi tidak kala itu. Mata saya tertahan oleh head line di halaman muka. Judulnya yang menohok, sekelebat mengingatkan saya ke masa lalu. Hingga saya kurang bernafsu memburu tulisan perjalanan saya sendiri.

Apa bagusnya headline itu? Tak lain, ia beritakan, gambarkan, dan olok-olok tempat saya lahir dan dibesarkan. Berikut head linenya:

PR pagarsih banjir

Head line itu patut saya hadiahi jempol. Antara konyol, lucu, fakta, sekaligus miris. Untuk diketahui, Pagarsih adalah sebuah wilayah di Kota Bandung yang terkenal akan fenomena banjirnya. Banjir musiman itu dipastikan hadir di setiap musim penghujan. Dari tahun ke tahun. Dari masa ke masa. Dari saya SD yang tinggal di salah satu gangnya.  Hingga saya berusia kepala empat dan telah menetap di benua lain, Pagarsih masa tetap saja seperti itu, banjir.

Maka, olok-olok foto hasil olah digital karya anak muda Bandung yang kreatif itu amat tepat dilayangkan sebagai sindiran, sekaligus cara protes kepada pemegang wewenang untuk kawasan Pagarsih yang letaknya dekat pusat kota Bandung.

Sebagai saksi sejarah, saat musim penghujan datang, kami selalu dibuat was-was. Jika hujan di siang hari, setidaknya kami bisa mengantisipasi dalam menyambut banjir. Namun kadang pula banjir luput dari antisipasi, ketika malam dalam lelap dan terbangun akibat genangan air di ubin kamar tidur.

Banyak perabotan kami yang rusak sebelum masanya. Karena banjir sering kali menjamah kursi, meja, ranjang, kasur dan yang lainnya. Bahkan ubin rumah kami pun, pernah rusak, hancur, karena terangkat dan terdorong oleh rembesan banjir yang bengis dari bawah tanah. Entah mengapa itu bisa terjadi. Yang jelas, pasca banjir, bapak harus mengganti ubin-ubin yang lepas dan terbelah-belah itu.

Bahkan, ada sebuah moment, dimana kami duduk diantara kursi sofa yang mengapung-apung di ruang tamu yang bagaikan kolam renang. Biasanya, seusai banjir di sepanjang pinggiran gang dipenuhi jemuran. Bukan hanya jemuran pakaian, tapi juga kasur, bantal-guling, selimut, kursi dan barang-barang lainnya yang tak biasa dijemur, menjadi lazim untuk disaksikan pasca banjir. Ehm.. pemandangan yang indah!

Parahnya, sering pula saat lumpur dan kotoran belum lagi tuntas dibersihkan di dalam rumah serta baju-baju dan perabotan belum kering, banjir itu datang lagi mengusik kami.

Mengenai SD kami, jika hujan lebat datang dan tanda-tanda banjir akan menerjang, biasanya sekolahan dibubarkan sebelum waktunya untuk menghindari terjebak banjir saat pulang nanti.

Jika banjir datang pada malam hari, buku-buku piket, buku-buku ulangan dan barang lainnya yang berada di dalam lemari kelas dipastikan basah. Begitupun dengan ubin kelas, dipastikan kotor, becek dan berlumpur. Hingga murid-murid dan guru-guru harus bekerja bakti menjemur buku-buku dan membersihkan kelas. Ah, kenangan itu…

Empat dekade telah terlewati, lima presiden pun silih berganti dan Pagarsih? tetap saja begitu, banjir!

Banjir oh banjir…

Saat banjir terjadi, sering kali kita menyalahkan banjir, menyalahkan air, menyebutnya bencana. Apa iya salah air?

Tentu saja air tidak bersalah. Karena banjir adalah buntut. Buntut dari ulah kita sendiri. Manusia!

Manusia yang mana? Manusia yang masih memiliki pola pikir primitif. Manusia yang masih saja membuang sampah ke sungai, ke selokan, ke parit-parit. Manusia yang tidak peduli pada lingkungan. Manusia yang berpikir pendek. Manusia yang membiarkan selokan, parit dan sungainya dijejali sampah. Sampah mereka sendiri. Sebuah  pemandangan yang ia saksikan setiap hari.

Lihat saja aliran sungai di jalan Pagarsih, banyak sampah yang berenang di sana.  Jika hujan datang sampah-sampah itu menahan arus air yang seharusnya melaju tanpa hambatan. Ah, rasanya anak SD pun tahu akan hal ini, apalagi orang dewasa. Tapi masalahnya bukan tahu-ngak tahu. Tapi mau-ngak mau. Karena paham saja tidak cukup! Action!

Selain itu, ada manusia lainnya yang bernama manusia pemegang kewenangan. Konon katanya, drainase seputar Pagarsih tidak berfungsi karena mengalami pendangkalan. Kalau memang sudah tahu penyebabnya, kenapa tidak segera ditindaklanjuti. Hingga banjir tahunan ini terjadi dari masa ke masa. Dari saya SD sampai saya sudah usia kepala empat. Dari saya masih tinggal di salah satu gangnya, sampai kini tinggal di benua lain.

Pada kemana sih orang pintar di negeri ini? Pada kemana sih larinya uang rakyat, dari pajak, yang seharusnya kembali kepada rakyat, untuk kenyamanan rakyat? Apakah untuk membetulkan drainase harus menunggu hingga beberapa dekade?

***

Sungguh, dalam waktu yang bersamaan, saya membaca dua artikel tentang air dengan konten yang kontradiktif. Dalam rubrik Wisata, saya yang nyata-nyata kelahiran Pagarsih mengumbar indahnya air danau di Skotlandia. Sementara Headline berita hari itu mengenai tanah kelahiran saya yang masih saja dengan petaka banjirnya.

Uniknya, sambungan headline tersebut letaknya tepat dibawah tulisan Wisata saya, berikut fotonya:
Lochness-PR2

Hmm.. dua tema air yang sangat berkesan bagi saya dalam kehidupan ini.

Worcester, 13012013