Kemanapun orang Indonesia merantau, hatinya selalu merindukan tanah air tercinta. Apalagi saat menghadapi moment puasa Ramadan seperti ini. Banyak hal yang dirindukan perantau muslim di Luar Negeri, khususnya Inggris, tempat saya bermukim kini.
Diantara sekian banyak yang dirindukannya itu, 6 diantaranya ialah:
1. Tidak adanya penjual takjil pinggir jalan
Ngak bisa beli jajanan takjil, maka dari itu, harus bikin sendiri 😉
Satu hal yang paling dirindukan dan sangat mustahil terjadi di Inggris saat Ramadan ialah tukang jualan takjil yang dengan mudahnya kita temukan di tanah air. Di kampung, di kota. Di mall, di pinggir jalan.Betapa hal ini sangat dirindukan sekali.
Aneka kolek, aneka es campur, aneka jajanan pasar dan aneka jenis takjil lainnya sungguh membuat kangen. Asal ada uang di tangan, kita bebas memilih satu – dua – tiga jenis takjil yang kita inginkan. Biarpun masing-masing hanya sebungkus kecil, itu semua sudah cukup memuaskan keinginan kita yang sudah tercipta sedari siang hari sebelum berbuka puasa.Berbahagialah Anda yang tinggal di tanah air.
2. Tim Pembangun Sahur
Entah sekarang, dulu ketika saya kecil, remaja, berkeluarga dan punya dua orang anak, di tempat saya tinggal masih ada tim pembangun sahur. Dengan alat tabuh sekedarnya mereka yang biasanya usia anak – remaja, berkeliling dari gang ke gang membangunkan orang-orang untuk sahur.
3. Suara speaker mesjid
Entah sekarang, dulu ketika saya kecil, dewasa, berkelurga hingga beranak dua, saat waktu sahur tiba, suara speaker mesjid merupakan element Ramadan yang tak terpisahkan.
Fungsi speaker itu diantaranya ialah announcement alias woro-woro atau helo-helo, pemberitahuan telah masuk waktu sahur hingga waktu berakhir sahur.
“Perhatosan ka bapa – ibu sadayana waktos nunjukkeun tabuh opat saparapat, mangga siap-siap sakedap deui imsak.”
Ah, sungguh countdown ala mesjid kami di Jawa Barat, terutama di daerah, begitu klasik terdengar dan sangat dirindukan.
4. Nuansa terawih yang berbeda
Seingat saya, sejak hijrah di tahun 2007, selama delapan kali Ramadan dan delapan kali lebaran, saya baru dua kali teraweh di luar rumah. Selebihnya saya berterawih dengan keluarga kecil kami. Yang dua kali terawih itu bukan bertempat di mesjid tapi rumah anggota pengajian kami.
Kami tinggal di kota kecil. Di sini hanya ada dua mesjid yang keduanya hanya menampung jamaah pria saja. Sungguh sholat terawih di mesjid dengan nuansa dan suasana kampung halaman sungguh kami idamkan.
Lagi-lagi, berbahagialah Anda yang tinggal di tanah air. Maka, adakah alasan lain yang memberatkan Anda untuk tidak tidak sholat di terawih di mesjid yang hanya sebulan ini?
5. Kumandang azan dari Muazin, bukan digital
Berbahagialah saudara muslim di tanah air yang masih bisa mendengarkan suara azan berkumandang dari speaker-speaker mesjid terdekat. Ataupun dari TV yang Anda tonton.
Bagi kami, kami harus puas mendengarkan azan digital yang keluar dari speaker mungil HP kami. Tak ada pilihan lain. Tak ada mesjid sekitar yang mengumandangkan azannya. Tak ada tontonan TV yang diselinggi azan magrib pertanda berbuka puasa yang dinanti-nantikan selama 19 jam lamanya.
Bisa anda bayangkan, detik-detik sebelum berbuka puasa, kami duduk di meja makan, menandai waktu berbuka puasa sesuai dengan jadwal yang didapat dari kalender mesjid setempat. Lalu menghitung mundur detik demi detik, begitu jam digital jatuh di angka yang ditunggu-tunggu, barulah anak-anak saya meneguk minuman pembuka puasa. Rasanya kurang kental nuansa berbukanya, kurang afdol.
Maka dari itu barulah saya menyalakan azan digital dari HP saya.Begitupun dengan jadwal imsak ataupun azan subuh, patokannya hanyalah kalender imsakiah dari mesjid setempat. Tak ada countdown yang keluar dari speaker mesjid daerah. Tak ada pengingat dari tayangan TV yang sedang ditonton ketika sahur.
6. Tayangan TV bertema Ramadan
Selama Ramadan, semua saluran televisi tanah air menyuguhkan tayangan bernuansa Ramadan. Entah itu kajian Al Quran, ceramah, sinetron religi, ataupun talk show-talk show sahur dan acara sejenis lainnya yang disiarkan secara langsung saat menjelang berbuka puasa dan selama sahur berlangsung, membuat nuansa Ramadan semakin kental terasa.
Sementara itu, kami di sini, di Inggris, tak ada sajian serupa. Semuanya hening-hening saja. Tak ada ceramah dan kajian islam di televisi kami, tak ada sinetron/acara religi, tak ada siaran langsung jelang berbuka puasa apalagi siaran langsung peneman sahur kami. Semuanya sepi-sepi saja.
Itulah elemen-elemen kecil nuansa Ramadan yang dirindukan perantau. 6 hal pembeda kentalnya nuansa Ramadan di tanah air dan di Inggris.
**Worcester, 21062015, Ramadan keempat**
Hiks terharu bacanya, nggak kebayang kalo aku menjalani puasa dengan suasana sepert itu.
Semoga Teteh dan muslim di luar negeri sana selalu diberi kekuatan dan kesabaran menjalankan perintah Allah meski di tengah keterasingan, aamiin.
Aamiin YRA, makasih doanya. Wan.
Betul banget banget mbak Rosi, Rasanya “kayak” ngak Ramadhan kalau tanpa itu semua. Waktu di India kalau bulan Ramadhan, masa masa galau merindu Indonesia. Alhamdullilah tahun ini bisa menikmati ramadhan di tanah air.
Selamat menikmati moment berharga di tanah air tercinta, mak (Y)
Aduh teteh… Itu kolak candilnya meni menggiurkan 🙂
Kalau zahra di posisi teteh, pasti merasakan kerinduan berpuasa di tanah air 🙂
ihiks… 🙁
Mudah”an tahun depan bisa mudik pas lebaran.
haha klo gak ada itu bulan puasa berasa hambar ya ceu 😀
M. Rasanya garing, Yo. Tp mudah”an selalu ttp istiqomah karena selalu ingat esensinya Ramadan itu sendiri. Mendulang pahala berlipat tanpa adanya elemen” kecil yg disebutkan di atas tadi 😉