Minggu kemarin, saya dapat info dari seorang teman kalau cerpen anak karya saya dimuat di Majalah Bobo yang keren itu.
Seperti cernak saya lainnya yang berhasil dimuat di koran dan majalah, idenya tak jauh dari pengalaman pribadi. Entah pengalaman saya ataupun pengalaman orang-orang di sekitar saya. Nah, untuk cernak kali ini ide awalnya adalah kejadian yang dialami bapak saya ketika ABG.
Untuk diketahui, bapak saya sekarang usianya sudah kepala 7. Pesan yang ingin saya sampaikan ialah: ide itu bisa datang dari mana saja, dari masa kapan saja, bahkan pada masa tahun 60’an sekalipun 😀
Jadi ceritanya begini, ketika saya mudik dulu, saya ke rumah keluarga bapak di Bandung. Rumah itu penuh kenangan bagi kami. Di setiap sudutnya memiliki kenangan dan cerita tersendiri. Salah satunya ialah sebuah sumur yang terletak di samping rumah nenek-kakek saya itu. Meski di tahun 90’an rumah kakek saya itu sudah dipasang air ledeng, namun keberadaan si sumur tua ini tak tersisihkan hingga kini.
Ketika mudik itu, kami, saya, uwa, bibi dan sodara-sodara lainnya ngumpul bersama sambil cerita-cerita masa lalu. Biasalah, klo mudik memang waktunya kami untuk bernostalgia. Ketika saya melonggokan kepala di jendela samping rumah, saya bilang, “Duh, sumur itu, lawas benar”
Ketika itu, mulailah uwa saya bercerita. “Tau ngak? bapamu dulu pernah (dikira) kecebur sumur itu. Hebohlah kami semua dibuatnya.”
Singkat ceritanya, ketika itu terdengar suara gedubrak di halaman samping rumah. Semua orang mengira bapa tersandung atau apalah-apalah hingga akhirnya (dikira) kecebur sumur. Hebohlah semua orang. Setelah panik dan riweuh berusaha menyelamatkan bapa yang katanya (kemungkin) tenggelam.
Selang beberapa waktu, tiba-tiba si bapa nongol begitu saja. Konon katanya baru pulang dari rumah temannya. Hahaha.. D 😀 kocak banget kan? Si uwa sambil ketawa-tawa menceritakannya, kamipun juga.
Nah, cerita-cerita seperti ini bisa kita kembangkan menjadi sebuah cernak yang kocak. Iya gak? Padahal itu kejadian terjadi setengah abad yang lalu. Taruh saja saat itu bapak saya masih ABG, dimana bapa saya sekarang usianya 71 tahun. Uwow banget kan?
So, buat kami yang masih saja bingung dengan ide untuk sebuah cernak, mungkin hal-hal seperti ini bisa dijadikan bahan masukan. Satu tips yang harus diingat, ubahlah seting waktu dan keadaannya.
Baiklah, setelah dieksekusi, ide tersebut saya kembangkan dengan seting waktu kini, tokohnya pun diubah menjadi tokoh anak-anak. Yaelah, namanya juga cerpen anak.
Ini adalah naskah aslinya, silakan nanti dibandingkan dengan cernaknya yang sudah dimuat di Bobo edisi 12 Mei 2016 kemarin. Jadi kamu bisa lihat, bagian mana yang diedit oleh editor Majalah Bobo.
Kecebur Sumur
(Rosi Meilani)
“Mak, beliin sepatu bola dong, Mak!” rayu Ocid pada Emak yang sedang memasak.
“Jangan sekarang, Cid. Emak belum punya uang.”
“Gak usah yang baru, Mak. Yang bekas aja. Kebetulan Yana mau ngejual sepatu bolanya. Cuman 30 ribu.”
“Buat Emak 30 ribu itu masih kemahalan, Cid.”
“Nanti Ocid tawar deh,” ujarnya berapi-api.
“Nanti tanya Abah dulu. Kamu kan tahu, Abah baru beli bibit tanaman,” jawab Emak sambil berlalu menuju kamar.
“Ya … Emak. Sudah capek-capek merayu, ujung-ujungnya tanya Abah juga.” Ocid mengerutu sambil berlalu.
Tak lama. Brak! terdengar sesuatu dari kamar Ocid.
“Cid! apaan tuh?” tanya emak yang tengah mengelar sejadah.
Ocid tak menjawab. Selang beberapa menit, Ocid ke kamar emak, tapi emak sedang shalat. Ocidpun berlalu keluar rumah.
Ketika hendak pergi, sandal jepit yang dikenakan Ocid putus. Ocid yang sedang kesal makin kesal saja. Spontan ia menendang bibir sumur yang ada di hadapannya.
“Huu uuhh …,” gerutunya.
Brak! Gejebyurrr … separuh dinding sumur tua itupun roboh.
Bunyi keras itu terdengar ke kamar Emak. Emak mengira, suara itu berasal dari rumah tetangga. Emak pun meneruskan shalatnya.
Usai shalat emak ke kamar Ocid. Tak ada Ocid di sana. Emak perhatikan ada pecahan celengan tanah liat di lantai kamar Ocid. Lalu emak kembali ke dapur.
Tak lama, Abah pulang dari ladang.
“Emak … emak …,” dari arah halaman belakang Abah berteriak-teriak.
Emak bergegas menghampiri Abah yang terdengar genting, lalu bertanya.
“Ada apa, Abah? pake teriak-teriak segala.”
“Lihat, sumur kita roboh separuh! Apa yang terjadi?” pekik Abah.
“Hah? Rubuh? Ya … ampun. Apa yang terjadi?” Emak balik bertanya. “Wah, jangan-jangan …,” Emak gusar dan panik.
Emak bertambah panik saat melihat sandal jepit Ocid mengambang di permukaan sumur. Emak menangis sejadi-jadinya. Hingga menarik perhatian tetangga.
“Ada apa ini, Emak? Ada apa?” Abah tak mengerti.
Sambil menangis hebat, Emak menceritakan kejadian tadi. Dalam waktu bersamaan para tetangga datang menghampiri dan berinisiatif memberikan bantuan.
Mang Tatang, Wa Eman dan Kang Sule berlari mengambil tangga bambu dari rumahnya masing-masing. Lalu tangga-tangga itu disambungkan.
“Siapa yang bersedia masuk?” tanya Mang Tatang.
“Aku, Mang!” jawab Kang Sule sigap. Mang Tatang segera melilitkan tambang ke pinggang Kang Sule.
Semua orang di sana melingkup sumur sambil tertunduk menyaksikan Kang Sule menuruni anak tangga menuju dasar sumur. Mang Tatang mengulurkan tambang perlahan.
Hampir sejam kejadian ini berlangsung. Emak semakin panik. Emak tak henti menangis, lalu berujar,
“Emak ngak tau, kalau sepatu bola itu adalah permintaan terakhir Ocid. Tau gitu, emak pasti mengabulkan permintaannya. Lain kali, apapun permintaan Ocid, emak bakal kasih,” emak sesegukan, kepalanya bersandar ke pundak Abah. Sedangkan tangan Abah melingkar di pundak Emak.
Dalam waktu bersamaan, pundak Emak dan Abah digelayuti sepasang lengan kurus.
“Ada apaan nih,” ujar orang berlengan kurus itu.
Emak dan Abah kaget. Merinding seram bercampur senang. Dug! jantung Abah dan Emak berdebar. Keduanya menengok kebelakang.
“Ocid?!” Pekik Abah dan Emak.
“Ocid?!” seru yang lainnya.
Mang Tatang kaget, terlepaslah tambang yang ia pegang sedari tadi. Tambangpun tercebur ke sumur.
“Mang, tambangnya lepas … pas … pas … pas …,” teriak Kang Sule dari dalam sumur yang menggema.
Semua yang ada di sana memeluk Ocid erat-erat.
“Ada apa sih?” Ocid bingung sekali.
Emak menceritakanya dugaannya. Ocid pun tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha.. jadi, emak pikir Ocid kecebur sumur? Maaf, Ocid ngak pamit sama Emak. Tadi itu Ocid abis ke rumah Yana. Nih lihat, Ocid beli sendiri sepatu bolanya. Ocid tawar. Jadinya 25 ribu saja. Ocid bayar pake celengan Ocid sendiri,” Ocid memamerkan sepatunya penuh bangga.
Sekali lagi, Emak memeluk Ocid erat-erat. Emak bangga pada Ocid.
“Cid, tadi emak janji, katanya apa aja yang Ocid minta nanti mah bakal dikabulkan,” canda Mang Tatang menyeringai.
“Ah, sekarang mah ngak janji, kan Ocidnya juga udah selamat,” emak tersenyum mengelak dan semua yang ada di sana tertawa,
“Itu Si Sule gimana?” tanya Abah.
Tiba-tiba sule nongol di bibir sumur,
“Eh … gimana ini teh. Saya udah capek-capek nunggu di dalam sumur ngak ada yang ngasih instruksi,” ujarnya kesal.
Semuanya melirik pada Kang Sule dan tertawa bersama.
***
Salam kenal mbak. Mau tanya, kalau mau kirim cerpen ke majalah bobo, diterima atau tidaknya ada pemberitahuan nggak? Baru nyoba kirim soalnya. Terima kasih atas jawabannya. Cernak karya mbak bagus mbak
Makasih.
Biasanya tidak ada pemberitahuan.
Biasanya saya dikabari teman di komunitas klo cernak saya dimuat di Bobo.
salam kenal mbak Osi…
ceritanya menarik sekali.
Salam kenal Fidia, terima kasih.
Aku selalu baca cerita anak karya Mba Rosi di majalah Bobo.. Aku acungin jempol deh pinter sekali Mba Rosi menangkap ide dan meramunya menjadi suatu cerita yang apik..
Makasih sudah menyempatkan membaca cernak sy. Ide itu mudah ditangkap dimana saja, termasuk dr pengalaman konyol bapaku ini. Tinggal poles aja dr ide awal sampai jd sebuah cerpen anak 😉
Mba, tiap minggu aku beli Bobo, masih suka baca Bobo bareng ponakanku, hehe.. Salut bener ssama kreatifitas Mba Rosi meramu cerita di Bobo, aku sering baca karya Mba Rosi di Bobo..
Beruntung sekali dirimuh bs beli bobo tiap minggu, soalnya bobo ga beredar di UK 😉
Kalo ceu osi cek sendiri..berapa banyak editan dr pihak bobo ceu???
Kayaknya gak banyak diedit, un 🙂